Sang fajar mulai beringsut dari peraduan yang memagut.
Kaki semunya perlahan menjejak. Mengisi hari dalam perjalanan panjang
kehidupan. Dalam irama tak berubah,
dalam kala yang tak jua lelah.
Hembusan angin pun menerabah dinding rumah. Berpendar ke setiap celah. Dingin begitu merasuk, tulang serasa
tertusuk.
Sesubuh itu, rasanya orang
akan memilih lebur di debur dengkur. Dengan luncur nafas teratur. Setidaknya
bersidekap dengan guling dan kasur. Namun
kiranya tak semua bernasib mujur.
Nuning, seorang kembang
desa, termasuk salah satunya. Dia harus bangkit dari tempat tidur. Menebas rasa
kantuk. Juga mengibas dingin yang menusuk. Dia harus menyiapkan sarapan.
Menggodok ketela, itulah rutinitas yang dilakukan.
Terdengar senandung kecil
dari celah bibir Nuning. Lebih merupakan bisikan. Suara begitu tertahan. Agaknya
dia takut mengganggu yang lain.
Alunan
suara bagai mengiringi tangan. Tangan begitu cekatan melakoni pekerjaan. Ada
dua kemungkinan sebetulnya. Suara
mengiringi tangan atau malah tangan Nuning yang mengiringi senandung.
Kegiatan gadis mungil Dusun
Banguntapan itu bangun sebegitu awal bukan hanya menyiapkan pengganjal perut.
Dia juga harus merebus air untuk mandi bapaknya: Broto. Dia tidak rela bapaknya yang menanggung berbagai
penyakit itu mandi air dingin.
Kondisi orangtuanya itu memang
telah payah. Penyakit yang diidapnya komplikasi dan kronis. Penyakit itu
diderita telah cukup lama. Masuk dalam hitungan empat tahunan.
“Huk…huk…!” terdengar
suara.
Nuning menghentikan senandung
kecilnya. Dia bisa menangkap suara batuk bapaknya. Antara dapur dan kamar
orangtuanya hanya dibatasi dinding tepas. Suara terdengar lepas.
Nuning bergegas ke kamar. Didapati
bapaknya tidak lagi tergolek di dipan. Bapaknya itu tengah berupaya berjalan. Tangannya memegang dinding untuk menyangga
tubuh lemahnya.
“Aduh, Bapak. Mau ke belakang ya, Pak? Mau jalan kenapa tidak bilang Ning?” Nuning berkata
dengan nada cemas. Refleks digapai tangan bapaknya.
“Ndak apa-apa kok, Nduk,
… huk … huk …! Bapak mau mandi,” Broto bersuara lagi di sela batuk. Dia
berupaya menenangkan putrinya.
“Ndak apa-apa gimana,
Pak? Kalo kondisi payah, mestinya Bapak panggil Ning!” cetus Nuning masih
dengan nada kuatir. Dia tetap memegangi tangan bapaknya. Di kala itu Nuning
masih sempat melirik ke arah Suharti. Posisinya tergolek di tempat tidur, tanpa
rasa terganggu sedikit pun.
Suharti adalah ibutiri
Nuning, pengganti almarhumah ibu kandungnya. Ibu kandung Nuning telah menghadap
sang Khalik sekitar enam tahun lalu. Lalu Suharti muncul sebagai pengganti.
“Kalo sudah selesai mandi
panggil Ning ya, Pak? Ning nggak mau terjadi apa-apa pada Bapak!” ujar Nuning
mengingatkan saat-saat meninggalkan bapaknya di kamar mandi. Ketika itu air
hangat sudah disiapkan di ember.
“Nggih, Ning!” Broto
mengangguk. Segera dia menutup kamar mandi. Seretan bagian bawah terdengar
berderit. Pintu kamar mandi menyentuh tanah. Serasa tidak kuat menyangga daun
pintu. Engselnya hanya terbuat dari tali rafia.
Nuning kemudian menuju
tungku masak. Dipusatkannya pandangan ke
arah periuk. Tutup periuk bergerak-gerak. Tanda isinya telah mendidih.
Nuning segera mengecilkan
api. Jika saja suasana terang-benderang, akan terlihat rona wajah Nuning. Memerah
terkena efek sinar api.
Nuning mengangkat ketela
dari dalam periuk. Lalu terdengar suara tangisan Tutik. Adiknya itu
memanggil-manggil Nuning dari arah kamar. Posisinya di tempat tidur Nuning dan
kedua adiknya.
Nuning meninggalkan periuk.
Bergegas dia mendekati adiknya yang baru berumur empat tahun. Tutik adalah adik
satu-satunya yang didapat dari ibu tirinya.
Adik Nuning bukan hanya
Tutik. Nuning masih punya Arum. Setelah melahirkan Arum, ibu mereka terkena
serangan kanker rahim. Untuk menyelamatkan nyawa, peranakannya harus diangkat.
Sebagai konsekuensi, Nuning tidak bisa punya adik lagi dari ibu kandungnya itu.
Ketidakbisaan punya adik
lagi dari ibu kandung kemudian menjadi abadi. Orangtua yang melahirkannya itu
dipanggil sang Khalik. Ibunya tidak bertahan lama bergulat dengan kanker rahim.
Penyakit kian hari kian ganas sampai maut menjemput.
Maka kemudian tinggallah
Nuning dan Arum bersama bapak mereka. Sampai pada tahun berikutnya hadir
Suharti, sang ibutiri, melengkapi anggota keluarga. Tidak ketinggalan Tutik pun
lahir sebagai buah perkawinan bapaknya kedua kali.
“Opo to, Tik? Pipis?” tanya Nuning dengan
sabar setelah dekat dengan Tutik. Dia mengawasi celana Tutik dan tempat tidur.
Tidak basah, berarti belum keluar.
Nuning sudah melatih adik
bungsunya itu untuk tidak ngompol.
Meski kadangkala gagal, Nuning masih bersyukur. Adiknya itu sering memberi tahu
saat mau pipis.
Tutik merespon. Meski dalam
posisi terbaring di tempat tidur, Nuning bisa melihat anggukan kepala adiknya. Tutik
mengulurkan kedua tangan kepada Nuning.
Nuning segera menggendong
Tutik. Dibawa adiknya itu keluar kamar.
Bersamaan dengan itu,
bapaknya selesai mandi. Melihat itu, Nuning bersiap mau menurunkan Tutik. “Tik,
kowe ke kamar mandi sendiri dulu, ya? Bisa kan? Mbak Ning mau nganter
Bapak!” ujar Nuning kepada Tutik.
“Nggak mau. Gendong…,”
Tutik meronta. Dia kian mengetatkan dekapan di gendongan Nuning.
Agaknya Broto menyadari keadaan.
“Wislah, Ning. Biar Bapak jalan sendiri
aja. Bapak bisa kok!” Broto bicara dengan suara dibuat tenang. “Antarkan aja Tutik.
Adikmu itu masih kecil. Dia lebih
perlu diperhatikan.”
Nuning semula bersikukuh
agar dia bisa menolong bapaknya. Broto sudah lebih sigap menolak. Dia memberi
isyarat dengan tangan.
Nuning tidak punya pilihan.
Dia mengikuti kata-kata bapaknya mengantarkan Tutik. Namun, disempatkannya juga
mengingatkan bapaknya berhati-hati.
* * *
Kondisi
Broto memang payah. Untuk berjalan saja kadangkala perlu dituntun. Biarpun
begitu, dia masih saja berusaha masuk kerja. Meski tidak jarang pula absen.
Status sebagai pegawai
kantor kecamatan telah mewajibkannya masuk kerja. Setidaknya orangtua itu harus
memikirkan pekerjaan. Tidak masuk kerja berarti mengalihkan beban tugas kepada
orang lain. Setiap pegawai memiliki tanggung jawab masing-masing.
Melihat kondisi kesehatan
Broto, mestinya ia berhenti saja dari tempat kerja. Istirahat di rumah lebih
baik daripada melakukan aktivitas berat. Untuk ukuran sakit yang diderita,
masuk kantor telah masuk kategori melakukan kegiatan berat.
Broto merasa tidak punya
pilihan. Dia tumpuan keluarga. Dia tidak mungkin minta pensiun dini. Gaji kecil
plus potongan mencicil utang terasa begitu penting untuk menghidupi keluarga.
Berobat sebetulnya telah
banyak dilakukan. Tidak hanya medis. Cara
nonmedis seperti disarankan para tetangga telah ditempuh. Selain di wilayah
Yogya, keluar kota pun dilakoni. Sudah puluhan pengobatan alternatif dicoba. Sejauh
itu hasilnya masih nihil. Bukannya sembuh, penyakit Broto kian kambuh.
Tadinya keluarga Broto
hidup relatif berkecukupan. Semula mereka tinggal di
rumah cukup permanen. Keluarganya terbilang lumayan secara ekonomi. Bagi Nuning,
semua masih terekam di benak. Kebercukupan mereka lebih dilatari oleh peninggalan almarhum eyang-nya.
Bapaknya merupakan anak
tunggal, mewarisi tanah peninggalan eyang.
Eyang kakung Nuning sendiri mantan
Carik Desa. Eyang meninggalkan sedikit
warisan tanah bagi orangtua Nuning.
Tetapi kini, semua telah
berlalu. Tempat sekarang mereka tinggali bukan rumah
dulu. Dari lokasi, terletak tidak jauh dari rumah sebelumnya. Hanya saja,
posisinya lebih masuk. Menjauh dari jalan besar desa. Rumah lama telah terjual
sebagai penebus biaya berobat. Waktu berobat empat tahun lebih bukan waktu
singkat. Selama waktu itu telah banyak biaya terkuras. Semua ludes.
Kondisi rumah sekarang
sangat memprihatinkan. Berukuran kecil dan berada di gang sempit. Untungnya saat
ini gang sempitnya belum terlalu terlihat. Tanah tetangga belum diisi bangunan.
Terkesan rumah berpekarangan luas. Betapapun, masih untung mereka punya tempat
berteduh. Meski bangunan hanya terbuat dari gedek bambu.
Di dalam rumah hampir tidak
ada apa-apa. Barang berharga, hanya televisi. Itu pun karena ibutiri Nuning
tidak mau menggadaikannya.
Berdasarkan keadaan, benda
elektronik itu mestinya sudah melayang. Ibu tiri Nuning punya kebiasaan berat
nonton Sinetron. Maka meski utang melilit pinggang, benda keramat itu belum
melayang.
Sebetulnya, masih ada benda
elektronik lain. Tapi tidak layak untuk disebutkan. Masalahnya, benda
elektronik itu hanyalah berupa radio kecil tua. Saking tuanya tidak punya nilai
jual lagi. Andai punya nilai jual, mungkin benda itu sudah lenyap juga.
Radio itu merupakan
peninggalan Broto yang dulu biasa digunakan di kantor. Kini benda itu kerap
menemani Nuning.
Saat-saat tertentu, Nuning
menyediakan waktu untuk mendengarkan lagu-lagu. Biasanya dipilihkan ketika
tanggungan pekerjaan sudah selesai. Tentu saja dia harus mencermati waktu,
supaya tidak terkena teguran ibu tirinya.
Sementara itu, Suharti tidak
tertarik dengan radio. Benda elektronik yang memang sudah tua itu terasa begitu
usang. Televisi dan tayangan sinetron jauh lebih menarik baginya.
Kadangkala Suharti peduli
juga pada radio Nuning. Kepeduliannya lebih karena terganggu akan suaranya. Merasa terusik
karena dianggap berisik. Nuning biasa mengatasinya dengan cara menempelkan
radio ke telinga. Volume suara dibuat kecil.
Kepedulian lain Suharti
terhadap radio adalah pada persoalan mengganti batere. Ganti batere meski kecil
perlu biaya. Tetapi Broto, punya kiat mengatasinya.
Dia tau putrinya itu punya hobi kuat mendengar musik. Maka dia berupaya
memperjuangkannya.
Broto tidak pernah
mengganggu gugat gaji. Lelaki itu selalu berdalih batere baru berasal dari
inventaris kantor. Sehingga Suharti tidak punya alasan untuk protes. Tapi
begitulah, toh Nuning harus berhati-hati saat mendengarkan radio. Supaya jangan
timbul masalah.
* * *
“Bapak pergi dulu ya, Ning!
Baik-baik di rumah ...,” Broto berpamitan, ”jangan lupa adik-adikmu dijaga,”
lanjutnya berpesan.
“Iya, Pak, hati-hati di
jalan,” Nuning menjawab sembari mengangguk. Segera dia mendekati Broto. Diraih tangan bapaknya dan
dicium dengan rasa hormat. Arum dan Tutik mengikuti.
Broto kemudian berjalan ke
arah sepeda tersandar di depan rumah.
Saat-saat bapaknya telah
menuntun sepeda, Nuning kembali mengingatkan agar berhati-hati. Nuning memang
selalu merasa cemas melihat bapaknya.
Broto mengiyakan seraya
mulai bergerak dengan sepeda tuanya.
Kini bapak Nuning hanya
bersepeda. Sepeda motor yang dulu pernah mereka punyai sudah ikut tergadai.
“Nuniiing…!” terdengar
panggilan. Cukup keras. Siapa lagi kalau bukan suara ibunya. Nuning sontak
bergerak. Digamitnya tangan Arum dan Tutik.
“Dalem, Bu!” ujar
Nuning setelah dekat. Dia tidak berani menatap wajah ibunya.
“Ini piring kenapa
dibiarin? Lalu Adik-adikmu itu ... masih belepotan!” tegur Suharti dengan wajah
kusut.
“Nggih, Bu. Baru aja
nganter Bapak berangkat,” Nuning menyahut.
“Nganter ke mana? Nganter ke ujung langit, gitu? Sekalian aja anter ke
neraka!”
Nuning cepat menggeleng.
“Mboten, Bu. Nganter di depan rumah.”
“Apa ya bapakmu nggak
bisa pergi sendiri? Maksudku apa ada gunanya kowe pakek nganter-anter kepergian bapakmu?” seru Suharti.
Nuning tidak menyahut.
Dia lebih memilih membereskan piring-piring.
“Kerjaan jangan
ditumpuk-tumpuk! Jangan maunya berleha-leha,” Suharti masih berkoar.
“Nggih, Bu.”
“Kayak anak orang seneng
aja, kowe.”
Beberapa saat kemudian
Nuning terlihat sibuk dengan pekerjaan. Namun di sela itu, terlihat mata Nuning
berkaca-kaca. Anak itu mengenang ibunda kandungnya almarhumah.
Nuning terngiang pesan
ibunya di ujung nafas. ”Semua yang terjadi tidak ada tanpa sepengetahuan Tuhan. Tidak terkecuali juga
semua penderitaan yang kita hadapi. Semua ada hikmahnya. Kita harus sabar
menerima rencana Tuhan, sambil memahami hikmah di balik semua itu.”
”Tapi Ning gak mau terjadi
apa-apa. Ning gak mau Mama pergi ninggalin Ning!” ujar Nuning ketika itu sambil
terisak. Dia memegangi tangan ibunya erat-erat. Saat itu ibunya terbaring di
tempat tidur rumah sakit.
”Mama juga ... gak mau
ninggalin kamu, Arum, dan ... juga keluarga kita semua,” mamanya bicara susah
payah. ”Apa pun yang terjadi, kita pasrah kepada Yang Kuasa. Kamu jagai adikmu
Arum ya...!”
Hikmah seperti apakah yang
harus dimaknai. Betapa berat penderitaan yang dialami Nuning setelah mamanya
pergi. Apakah Nuning harus menerima begitu saja perlakuan tidak adil ibutirinya
selama ini? Nuning bermain dengan pikiran. Wajah almarhumah memenuhi benak.
* * *
Keluarga Broto baru saja selesai makan malam saat
terdengar suara ketukan di pintu. Seiring dengan itu terdengar ucapan, ”Kulonuwuun!”
Ketika itu Nuning sedang membereskan piring-piring bekas makan. Keluarganya
masih duduk-duduk di tikar, tempat mereka biasa makan.
“Manggaaa ...!
Silakan masuk, pintu gak dikunci,” Broto menyahut setengah berteriak. ”Coba
dilihat siapa yang datang, Ning!” ujar
Broto kemudian kepada Nuning.
“Nggih, Pak,” Nuning
menyahut singkat. Cepat-cepat diangkatnya piring-piring kotor.
Segera di pintu terlihat
Parjan, Kepala Dusun. Dia tidak sendiri. Turut pula Andika, Ketua Karangtaruna.
“Kulonuwun Pak Broto, Bu Broto! Met malam!”
Parjan memberi salam kembali seraya melangkah masuk. Diikuti Andika. ”Maaf
mengganggu. Baru makan rupanya,” lanjut Parjan.
”Mangga ... mangga Pak Kadus! Mas Andika! Iya baru makan. Tapi sudah
selesai kok,” Broto menyambut hangat seraya bangkit berdiri. Agak susah payah. Nuning
sigap membantu.
”Silakan duduk. Tapi maaf,
hati-hati aja, kursi tamunya dah banyak yang rusak!” lanjut Broto setelah dalam
posisi berdiri. Seiring dengan itu ia mendekati tamu dan menyalami keduanya.
Suharti juga menyusul.
”Tumben ini Pak Kadus dan Mas Andika,” Suharti bersuara. Dia ikut menyalami
Parjan dan Andika.
“Yah … kayaknya memang
begitu, Bu Broto. Mestinya selaku Kadus saya bisa mendatangi rumah-rumah warga.
Supaya mengetahui kondisinya, termasuk ke rumah ini. Biar nggak tumben lagi ya,
Bu,” Parjan menjawab kalem seraya duduk di kursi.
“Wah, Pak Kadus bisa aja.
Toh kita sering juga ketemu di kantor Kecamatan,” Broto cepat-cepat menukas.
“Istri saya tadi itu sebetulnya cuma mau bilang sugeng rawuh, selamat
datang, dan apa kabar. Tumben ini dengan Mas Andika segala?” lanjut Broto ramah
seraya menganggukkan kepala ke arah Andika.
Parjan tersenyum. “Ya, kabarnya baik, Pak Broto dan juga Ibu.
Begitu juga Mas Andika kan?” jawab Parjan seraya melibatkan Andika.
Andika mengiyakan.
“Bapak sendiri bagaimana
kondisinya? Sudah baikan?” sambung Parjan sembari mengamati fisik Broto.
Broto menghela nafas. ”Yah
… entahlah, Pak Kadus. Dibilang baik ya…baik. Tapi dibilang sakit ya …juga
sakit.”
“Saya melihat Bapak masih
terus masuk kantor,” Parjan menukas.
“Ya ... sering-sering tidak
masuk juga, Pak. Mau bagaimana lagi. Kondisi saya memang payah.”
Parjan dan Andika manggut-manggut.
“Kalau melihat kondisi,
mestinya saya ini istirahat saja di rumah,” Broto kembali melanjutkan. “Tapi
bagaimanapun, saya berusaha masuk kerja. Tidak enak saya mangkir terus.”
Parjan sekilas mendesah,
baru kemudian bersuara,“Saya kira teman-teman di kantor tentu maklum keadaan
Bapak. Eee ... maksud saya ... saya tau, teman-teman di kantor paham kok pada
kondisi Pak Broto!”
“Tetapi masalahnya bukan
hanya itu, Pak Kadus!” Broto terlihat menggelengkan kepala.
“Maksud Pak Broto?” Parjan
mengernyitkan dahi. Andika mengangguk, tanda ia mendukung pertanyaan Parjan.
“Kalau saya tidak masuk
kerja, kasihan yang di rumah,” Broto
menjelaskan. “Mereka akan cemas terus. Saya tidak tega. Jika saya tidak masuk
kantor, mereka mengartikan kondisi saya
makin parah. Makanya, saya berusaha masuk kantor,” lanjut Broto.
Parjan terdiam. Agaknya dia
bisa memahami Broto tetap berusaha masuk kantor.
Nuning datang membawa
minuman. Hening sesaat.
”Nah ini ada Mbak Nuning.
Saya kira pas untuk menyampaikan maksud kedatangan kami!” Parjan buka suara di
sela-sela Nuning menyuguhkan minuman.
“Eee…nggih, Pak Kadus,“ Nuning bicara agak kikuk. Dia terlihat kaget
karena namanya disebut. Sebenarnya wajah Nuning memerah. Hanya saja perubahan rona
wajahnya tidak jelas terlihat karena tertolong
sorot lampu watt rendah.
Nuning memang agak gugup.
Apalagi yang membuatnya begitu kalau bukan kehadiran pemuda bersama Parjan. Selama
ini Nuning diam-diam memang mengagumi pemuda yang tinggal satu dusun dengannya
itu.
“Kedatangan Pak Kadus ada
hubungannya dengan Nuning?” Broto tertarik.
Parjan mengangguk. “Nah, Mbak
Nuning tolong di sini dulu!” Parjan menahan Nuning yang bersiap akan ke
belakang.
”Ada apa sih, Pak Parjan?”
Suharti terlihat tidak sabar.
Parjan tidak langsung
menjawab. Dia malah melirik ke arah Andika. Agaknya dia memberi isyarat agar
Andika buka suara.
Karena merasa diberi
kesempatan, Andika segera bicara,”Begini, Pak Broto, Bu Broto, dan Mbak Nuning.
Kedatangan kami sebetulnya mau minta izin supaya Mbak Nuning bisa bergabung
dengan tim nyanyi dusun kita!”
“Minta izin bergabung
dengan tim nyanyi?” Broto juga tidak sabar. Sementara Nuning terlihat gelisah
dengan baki di tangan. Pada saat sama Tutik muncul ke dekat Nuning.
”Iya. Bergabung dengan tim
nyanyi keroncong!” Parjan menjelaskan. ”Seperti
biasanya Desa kita tetap ngadain
malam pentas seni. Memeriahkan perayaan tujuh belasan.”
“Ooo…itu to yang
dimaksud. Jadi Mbak Nuning mau diikutkan grup
nyanyi?” Broto menukas sambil manggut-manggut.
”Kok bisa sih? Apa Pak
Kadus gak salah orang? Memang nyanyinya asal-asalan?” tanya Suharti dengan ekspresi penasaran. ”Ya
dah Ning kowe bawa adikmu Tutik ke
belakang!” lanjut Suharti memerintah Nuning. Terlihat Tutik mau menyentuh
minuman tamu.
Nuning cepat mengangguk
seraya berpamitan ke belakang.
”Pak Kadus apa gak keliru. Bisa
apa si Nuning dalam hal menyanyi. Apalagi ini untuk dipentaskan! Jangan bikin
rusak acara nanti!” Suharti menukas
lagi. Sangat kentara dia penasaran.
Parjan mengangguk sekilas
sambil tersenyum. ”Mungkin gak salah, Bu Broto. Selain dari istri saya sendiri,
ini usulan dari semua anggota kelompok keroncong. Maksud saya, ini permintaan
dan keputusan bersama.”
”Lha kok bisa?” kejar
Suharti.
”Saya tidak tahu apa Pak
Broto tidak pernah cerita. Eyang putri
Nuning dulu pendiri kelompok keroncong Desa sekaligus penyanyi inti. Lalu
almarhumah ibu kandung Mbak Nuning juga penyanyi!” Parjan bicara nada datar.
”Ibu Nuning dan mertuanya yaitu ibu kandung Pak Broto merupakan duet kawakan
semasa hidup!”
”Lalu hubungannya dengan
Nuning?”
”Ya dia itu bagus suaranya.”
Suharti sempat ngakak. ”Waduh,
apa gak salah nih? Tau bagus dari mana? Mana bisa nyanyi si Nuning!”
”Ya didengar dulu
penjelasan Pak Kadus, Bu!” Broto menyela.
”Ah, Bapak ini, wong aku bicara ke Pak Kadus!” Suharti
protes. Sorot matanya tidak senang kepada Broto.
”Begini, Bu Broto!” Parjan
cepat mengambil alih. ”Dulu waktu masih hidup, Eyang Putri dan mamanya Nuning sering membawa Nuning saat latihan
dan pentas! Nuning bahkan dilatih juga nyanyi!”
”Bukannya Nuning masih
kecil waktu itu?”
Parjan mengangguk. “Betul,
dia masih kecil. Di situ kita tahu suaranya bagus dan punya bakat nyanyi.
Sayangnya Eyang Putri dan mama Nuning
terlalu cepat pergi. Setelahnya Nuning gak pernah bergabung lagi!”
”Yah, saya gak kepikiran
mau nganter-nganter Nuning ikut kelompok nyanyi!” Broto menyela.
Sekilas Suharti menghela
nafas. ”Oke. Sekarang saya ikuti aja. Katakanlah dulu bagus. Tapi itu kan dulu.
Udah selang berapa tahun itu. Pasti udah ada perubahan!” ujar Suharti kemudian.
”Benar, Bu Broto!” Parjan
mengangguk lagi. ”Dulu sudah ketauan bagus. Tapi kita tetap yakin suara Mba
Nuning tetap bagus. Malah mungkin makin bagus sekarang!”
”Waduh, ngawur banget! Bisa
naik kuping si Nuning dibilang suaranya bagus!” Suharti bicara sambil melengos.
“Apa bagusnya suara Nuning. Ada-ada aja.”
“Mungkin faktor keturunan,
Bu Broto. Eyang dan ibunya bersuara
emas, maka suara Nuning juga apik!” Andika ikut bersuara. ”Mungkin kalo ikut acara
Indonesian Idol atau kontes nyanyi di tivi bakal bisa menang!
Suharti ngakak sekilas. “Mas
Andika tau apa tentang suara. Mas Andika itu cuma ketua karangtaruna. Kerjanya
ngurus anak muda gotong royong atau kumpul-kumpul. Nggak ada hubungan sama urusan
tarik suara. Jadi dipersori aku
nggak percaya!” tukasnya.
“Ya sudahlah, Bu!” Broto
menengahi. “Mas Andika juga kan cuma kasih semangat.”
Suharti mencibir. “Semangat
sih semangat. Tapi mosok wong ndeso disejajarkan sama yang di tivi. Jelas
nggak pantes. Tivi itu tingkat nasional. Yang tampil di tivi pasti sudah pilihan. Tidak ngawur
koyo anakmu itu.”
“Iya, Bu Broto. Mas Andika
juga ya kebangetan. Mosok ya
Mbak Nuning disejajarkan dengan yang di tivi. Rasanya ya kurang pas. Tidak
sebanding,” Parjan berkomentar.
Andika terlihat kikuk.
“Sekarang bagaimana, Pak
Broto dan Ibu ...?” Parjan bersuara lagi. ”Tolong supaya Mbak Nuning boleh ikut ya? Latihannya hanya
sebulan ini. Seminggunya paling banyak dua kali. Di rumah saya nanti latihannya!”
“Kalau saya ya terserah
Ibunya wae….!” Broto segera memberi pendapat. “Syukur-syukur dibolehkan.”
“Aku itu bukan soal
boleh gak boleh. Tapi rasanya lucu. Gak ada angin gak ada ujan kok tiba-tiba
aja Nuning dibilang suaranya bagus. Mau ikut pentas seni lagi!” Suharti masih
penasaran.
“Ya udah, Bu. Minta
izinnya aja. Ini udah keputusan kelompok nyanyi. Kita ingin acara perayaan
tujuh belasan meriah!” Parjan bicara lebih tegas.
“Tapi apa ya masih perlu
acara-acara Tujuh Belasan?” Suharti malah beralih ke soal lain.
“Maksud Ibu?” Parjan
terlihat kaget. Dia menautkan alis. Kentara kalau dia tidak mengerti arah
ucapan Suharti.
“Untuk apa acara-acara
Tujuh Belasan? Kondisinya sekarang ini toh makin payah. Reformasi udah bangkotan… tapi kok ya nggak ada
perubahan. Malah nglelokro,”
Suharti menukas.
“Wah, kan sudah banyak
perubahan, Bu!” Parjan menampik. “Lihat
saja sekarang kita sudah makin bebas milih. Partai lebih banyak pilihan.”
”Kebanyakan partai malah ribet. Lalu ekonomi juga
makin susah. Harga-harga mahal. Biaya listrik mahal. Bensin mahal!”
”Memangnya Ibu beli bensin
di mana?” sindir Broto.
”Salahnya ... aku nggak
dibelikan mobil!” jawab Suharti taktis.
“Ya wis … Bu. Nggak usah ngalor ngidul.
Pak Kadus itu cuma mau nanya kita. Mbak
Nuning dibolehi ikut latihan nyanyi apa
gak. Itu aja yang dijawab!” Broto mengingatkan.
“Iya, Bu…,” Parjan
mengangguk. “Mestinya boleh to ya, Bu. “Mbak Nuning betul-betul kita
perlukan kehadirannya melengkapi tim. Beberapa yang lain sudah kita hubungi
juga. Termasuk Mbak Wiwid. Tetangga sebelah!”
“Oo putrinya Pak Jupri?”
”Iya, kita ingin tahun ini
mendorong yang muda-muda ikut tampil!”
”Yang muda-muda? Pantesan
Nuning masuk hitungan!” Suharti manggut-manggut.
”Ya ada rencana tampilan
musik dibuat kreatif dan inovatif. Dengan iringan gitar segala.”
”Apa iya?”
“Makanya Mbak Nuning boleh ya diikutkan?” Parjan kembali menagih
soal perizinan.
Suharti menghela nafas. “Aku
sih boleh aja. Mungkin persoalannya malah bapak Nuning!”
”Maksudnya?” Parjan
mengerutkan kening.
“Sing punya gawean
kan bapaknya Nuning,” ujar Suharti seraya mengarahkan pandangan lurus kepada
Broto. ”Piye Pak. Kalo anakmu pergi
latihan, apa Bapak gak masalah. Jangan nanti aku yang disalahkan. Masalahnya yang sakit itu kan ya awakmu,
Pak.”
“Ya, mungkin selama Mbak Nuning
dalam kegiatan latihan, supaya Ibulah yang ngurusi Pak Broto!” pinta Parjan dengan hati-hati. Lembut suaranya.
“Biasanya saya ya ngurus
bapaknya anak-anak. Yang bilang nggak ngurus siapa? Pak Kadus ono-ono wae.
Apa ada istri yang nggak peduli sama suami. Nggak mungkin kan?” Suharti bicara setengah sewot.
Parjan menghela nafas.
“Cuma masalahnya, Pak Kadus
… bapaknya anak-anak aja yang sering merasa nggak lengkap kalo Nuning nggak
ikut bantuin. Apa-apa harus Nuning. Kesannya seolah-olah saya ini nggak
melakukan apa-apa.”
“Nggih, Bu…,” Parjan
kembali mengangguk. “Berarti Ibu boleh ya? Soalnya Pak Broto sudah boleh tadi. Ya,
maturnuwun kalo gitu,” ujar
Parjan lagi dengan perasaan lega.
“Tapi teringatnya ada
uang lelahnya untuk Nuning gak, Pak Kadus? Apalagi tau sendiri, bapaknya Nuning
ini kan sakit. Perlu biaya banyak.”
“Duh, Ibu ini bicara apa
sih?” Broto protes.
“Lha kan wajar to? Pasti adalah kucuran dana dari
kelurahan untuk tiap-tiap kegiatan. Setidaknya dari sumbangan warga!” Suharti
tak kalah sengit.
Broto terlihat
geleng-geleng kepala. Tatapannya lurus tertuju kepada Suharti.
“Ya nanti diusahakan, Bu Broto. Tapi tentu
alakadarnya aja. Yang penting kita bisa berpartisipasi dalam peringatan Hari
Kemerdekaan!” Parjan bicara. “Ya dah, nanti saat latihan biar Mbak Nuning
dijemput Andika!”
“Ya makasih!” Broto
cepat menukas.
“Tapi kan ada Mbak
Wiwid, barangkali biar Nuning bareng Mbak Wiwid aja!”
“Ya tadi ini ketua
karang taruna dah bilang sanggup jemput Mbak Nuning!” Parjan bicara sambil
menunjuk Andika.
“Ya setidaknya kita
ingin anggota penyanyi tidak kerepotan berangkat latihan!” Andika memberi
penjelasan.
“Ya, biar ketua
karangtaruna punya gawean,” Parjan bicara sambil tersenyum.
Andika tergelak.
* * *
Waktu hampir menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Saat
itu Nuning sudah bersiap-siap. Ini merupakan kegiatan latihan nyanyi pertama
yang akan diikuti.
Nuning sengaja cepat-cepat
membereskan pekerjaan. Dia tidak ingin ada pekerjaan belum tertangani. Sesaat lagi
Andika akan datang menjemput. Jangan sampai pemuda itu menunggu-nunggu. Lebih
dari itu, supaya ibunya tidak rewel. Dimarahi ibunya di hadapan Andika, terasa menakutkan bagi Nuning.
Sampai beberapa saat,
Andika belum muncul juga. Nuning mengajak adiknya ke bagian belakang. Dia tetap
dalam tugas menjagai adik-adiknya.
Sambil menunggu, Nuning
mencoba-coba suara. Suara Nuning tidak terlalu keras sebetulnya. Tetapi
kelihatannya telah mengusik Suharti.
“Kowe mau nyanyi
Tujuh Belasan aja perasaan seperti artis. Ndadak pake latihan dulu di
rumah,” Suharti menyindir Nuning dari ruang depan. Setengah berteriak.
Mendengar sindiran ibunya,
Nuning segera menghentikan suara.
“Mentang-mentang dipuji Pak
Kadus dan Mas Andika, kowe jadi besar kepala. Opo kowe nganggap suaramu apik benaran,
ya? Ya dah jadi artis ibukota sekalian.”
Nuning menghela nafas.
“Nek apik mending. Ini
kayak suara piring pecah,” Suharti kembali berkoar. “Ngerti piring
pecah? Bisa ngagetkan dan bikin luka. Ngerti kowe?”
”Nggih, Bu!” Nuning cepat menyahut.
”Kupingku ini mau pecah. Budeg
opo aku …?”
“Wislah, Bu!” Broto menyela.
“Nuning kan cuma nyanyi. Kowe … begitu saja dipermasalahkan.”
“Anakmu kae loh,
Pak. Perasaannya kayak artis
ibukota. Perasaan aja sih. Suaranya? Bubrah gak karu-karuan.”
Broto mendesah. “Owalah,
Bu. Nuning mungkin cuma latihan supaya nanti lancar nyanyi.”
Suharti kelihatan tidak
terima. “Yo, wis, Ning. Kowe latihan terus. Biar tak dengerin.
Mumpung bapakmu nyeporterin kowe. Aku gak usah nonton tivi!” ujarnya
sembari mematikan televisi.
Suasana kemudian hening.
Agaknya Broto mengerti
keadaan, dia tidak berkomentar lagi.
Nuning sendiri mana berani
dia bersuara. Dia lebih memilih
merapatkan pelukan kepada adik-adiknya. Sekalian supaya adik-adiknya tidak
melakukan hal-hal yang memperkeruh suasana.
“Hmh, dasar gombal.
Artisnya disuruh nyanyi malah mingkem!” Suharti kemudian berkata penuh tekanan. Dia
menghidupkan televisi kembali. “Penyanyi ndeso yang kebetulan asal comot aja kebanyakan gaya.”
Nuning tetap diam. Broto juga.
“Sudah jam berapa ini? Kok
kowe belum berangkat juga?” Suara ibunya terdengar lagi.
Nuning merespon kata-kata
ibunya. Dia beranjak ke depan dan melihat-lihat ke arah luar. Belum ada tanda-tanda Andika akan datang. “Mas Andika belum rawuh, Bu!” Nuning
berkata kemudian.
“Sebelum berangkat, sudah dicek semua kerjaan.
Sudah beres belum?” ibunya berkata lagi. Wajahnya kelihatan tidak senang.
Nuning merasa, ibunya itu
mulai cari-cari kesalahan. “Nggih, Bu. Tadi sudah Ning bereskan, tapi
Ning cek lagi.”
“Hayeh …hayeh, hmh,
dari tadi tapi baru ngecek sekarang?” Suharti memelototi Nuning.
Nuning tidak mau ambil
risiko. “Nggih, Bu,” ujarnya sambil segera
melakukan pengecekan. Melihat-lihat.
Suharti geleng-geleng
kepala.
Nuning terlihat
mondar-mandir.
Perbuatannya itu
mungkin dianggap berlebihan. Suharti kumat
lagi. “Ada apa to, kowe kok mondar-mandir. Koyo setrikaan?”
”Anu, Bu. Ning itu ngelihat Mas Andika, barangkali aja udah datang!”
jawab Nuning.
“Kalo udah datang bakal
ketahuan. Jemputnya kan naik motor. Pasti kedengaran suara motornya!”
Nuning menghela nafas.
”Mungkin Mas Andika itu gak
beres. Katanya mau jemput ternyata bohong!” Suharti bicara ketus. ”Ya dah kamu
ke tempat Mbak Wiwid aja sono!”
“Ya, nunggu bentar aja
dulu, Bu. Mas Andika kan sudah janji mau datang. Mungkin ada halangan dikit!”
Broto mengingatkan.
”Anak muda zaman sekarang
memang gak bisa dipegang omongannya!”
”Waduh, kok langsung
berkesimpulan gitu, Bu...!”
Pembicaraan terhenti. Suara
sepeda motor terdengar makin dekat. Bahkan sampai ke depan rumah.
Sejurus kemudian terdengar suara Andika,
“Kulonuwuun...!” Diikuti kemunculan sosoknya.
“Monggo, Mas Andika!” Broto menjawab dengan
suara dibuat nyaring.
“Nggih, Pak Broto,
Bu Broto. Maaf, saya terlambat. Tadi motornya mogok. Nyatanya busimya kotor!”
Andika memberi penjelasan.
“Ndak apa-apa terlambat, Mas. Malahane,
artisnya di rumah ini sempat latihan nyanyi tadi,” Suharti bersuara sambil
mengangguk ke arah Andika.
Mendengar sindiran
ibunya, wajah Nuning memerah. Sementara itu, Andika hanya menautkan alis.
”Ya dah sana pergi latihan,
nanti terlambat!” Broto menukas.
“Nggih, Pak Broto, Bu
Broto. Saya pamit dulu dengan Nuning!” ujar Andika sambil mengangguk. Dia
bahkan membungkukkan badan sedikit.
Nuning segera menghampiri
bapaknya. Diraihnya tangan Broto. “Nuning pamit, ya Pak…,” ujarnya sembari
mencium tangan bapaknya.
Broto mengangguk sambil
menepuk-nepuk pundak Nuning. “Hati-hati, nanti kalau sudah pulang, langsung
saja. Pintu nggak dikunci,” ujarnya lembut.
Broto sengaja mengingatkan
itu supaya saat kembali tidak timbul masalah.
Dia tahu istrinya tentu malas membukakan pintu. Dan kalaupun mau,
ujung-ujungnya akan marah-marah. Sementara dirinya, jika sudah agak larut malam
biasanya sudah terlelap.
Setelah kepada bapaknya, Nuning
beranjak menuju Suharti. Mau pamitan. Tetapi nyatanya bukan perlakuan manis
yang diterimanya.
“Sudah … sudah. Pergi sana.
Nggak sudi aku melihat orang yang berpura-pura sopan!” cetus Suharti ketus.
Nuning menghela nafas
berat. Malu dia terlihat Andika. “Ya sudah. Nuning pamit ya, Bu!” ucap Nuning
tanpa meraih tangan Suharti untuk dicium.
* * *
Mestinya Nuning senang berada di boncengan Andika. Kejadian
memalukan di rumah tengah menggayuti pikiran Nuning.
Jika jujur,
rasa malu Nuning tidak hanya itu. Status putus sekolah juga merasuki benaknya. Dia
merasa tidak pantas berdekatan dengan Andika.
Saat ini Nuning
sudah tidak bersekolah. Siapa lagi biangnya kalau bukan Suharti. Ibu tirinya
itu memaksa Nuning berhenti sekolah. Alasannya, bapak Nuning butuh biaya
berobat maupun perhatian Nuning dalam merawat. Kodrat Nuning sebagai wanita
yang bakal menjadi ibu rumah tangga juga jadi alasan Suharti. Pendapat Broto
dan juga saran para tetangga tidak membuat Suharti bergeming.
“Ning...!
Mbak Nuning ...!” Terdengar Andika memanggil.
Nuning tersentak. “He...eh.
Iya, Mas Andika!” Nuning menyahut. Agak gugup.
”Mbak Nuning!” Andika
bersuara lagi.
Nuning tersadar. Suara deru
sepeda motor terdengar mengganggu.
“Ada apa, Mas?” ujar Nuning
dengan volume lebih keras.
“Dari tadi kamu kenapa diam
aja sih, Ning?” Andika bicara dengan badan sedikit terarah ke samping.
Nuning tidak langsung
menjawab. Dicobanya mencari kata-kata tepat. “Habis ... Mas Dika sendiri dari
tadi juga diam!” ujarnya kemudian.
“Apa?” Andika berteriak.
“Mas Andika sendiri juga
dari tadi diam aja!” ulang Nuning kian menambah volume suara.
“Udah tau!” Andika kembali
berteriak. Dia tergelak di ujung ucapan.
Merasa dipermainkan, Nuning
memukul pundak Andika. “Mas Dika jahat. Ternyata udah denger tadi!” ujar Nuning.
Setibanya di
rumah Parjan, Nuning kian merasa minder. Gelisah dia.
Andika memperhatikan
langkah Nuning. Dia mengerutkan kening. “Ayo Ning. Kenapa?” tanya Andika. Pemuda tanggung itu
agaknya menangkap keraguan langkah Nuning.
Nuning tidak langsung
menjawab. Ditatapnya Andika sekilas. Terdengar desahan nafas. Terasa berat.
“Ada apa?” Andika mendekati
Nuning. Ditatapnya gadis itu lekat-lekat.
Nuning kembali mendesah.
“Nuning malu, Mas!” sahut Nuning berterus terang. Suaranya pelan. Kepala
ditundukkan.
Andika menautkan alis. “Kenapa
malu, Ning? Suara kamu bagus! Perlu untuk memperkuat tim,”
Nuning menggeleng. “Nuning
kan pengangguran. Tidak sekolah lagi seperti Mas Dika dan yang lainnya...,”
ucap Nuning dengan suara lemah. Dihelanya nafas dalam-dalam. Sebenarnya
dia merasa berat mengungkapkan suara hatinya. Antara berat dan malu.
Andika baru saja mau
memberikan komentar ketika tiba-tiba Parjan muncul.
“Hei! Kalian berdua mengapa
tidak masuk. Yang lain sudah di dalam semua!” Parjan bicara setengah berteriak.
Tangannya dilambaikan, tanda mengajak masuk ke rumah.
“Nggih, Pak Kadus. Kulonuwun
… ,” Nuning menyahut seraya melangkah ke arah Parjan. Andika juga melakukan
hal sama. Seiring dengan itu mereka menyalami tangan Parjan.
Nuning dan Andika segera
masuk. Mereka langsung disambut yang lain-lainnya. Ada kelompok tua dan muda.
”Maaf ... maaf semuanya,
Bapak dan Ibu, juga teman-teman. Kami telat karena motornya sempat mogok tadi
sebelum menjemput Mbak Nuning,” Andika langsung memberi pengakuan. Disalaminya
semua. Nuning mengikuti.
“Wis ... ora popo,”
Tukiran memberikan komentar. ”Telat bukan karna motor mogok juga ya gak apa-apa.”
”Maksud elo?” Andika mendelik.
”Lha kalian berduaan. Bisa
aja kan ngorol dulu! Katakanlah ngobrol di sebuah taman. Jadinya telat,”
Tukiran bicara enteng. Semua tertawa.
Diledek begitu, Nuning menjadi
tersipu-sipu.
“Diam berarti nggih,”
timpal Tika. Menambah suasana kian ramai.
“Wis … wis …! Sesama
bis kota dilarang saling mendahului!” Parjan langsung melerai.
“Maksud Pak Kadus?” Tukiran
bertanya dengan ekspresi penasaran. Penasaran yang dibuat-buat sebetulnya.
“Uh ... dasar payah! Mas
Tukiran memang kompor!” Wiwid mengejek Tukiran sambil bercanda.
Tukiran kembali
mantuk-mantuk. Tanpa rasa berdosa, diliriknya Nuning. Nuning memang menjadi
sasaran tembaknya. Tentu saja yang lain tertawa melihat tingkahnya itu.
Sementara Nuning terlihat
gelisah dan kikuk. Untung saja kelompok tua seperti Bu Parjan, Mbah Sarko, dan
Bu Parni kemudian menyelamatkan Nuning. Mereka
mengajak Nuning ngobrol. Bagi Nuning, dia seperti bernostalgia. Terkenang semasa
kecil dengan eyang putri ataupun
almarhum mamanya kumpul bersama kelompok keroncong.
* * *
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Lewat
beberapa menit. Saat itu terlihat kegiatan
latihan sudah berakhir. Pada umumnya anggota kelompok nyanyi terlibat kegiatan ngobrol. Hanya saja terlihat
berkelompok antara tua dan muda.
“Wah ... kayaknya hanya
sekali latihan saja sudah cukup kita ini ...!” terdengar komentar
Ambar dalam kelompok muda. “Sepertinya
sudah mantep tadi.”
“Belum ...!” Andika
menanggapi. “Aku nggak setuju dibilang sudah mantep.”
Semua jadi terdiam.
”Soal kata-katanya memang
sudah lumayan hafal. Bagaimana tidak hafal wong lagunya dah umum. Tapi
... dalam soal masuknya. Itu loh, terutama setelah intro, kayaknya belum kompak,”
lanjutnya dengan mimik serius.
“Padahal
aku sudah jelas membuat intro dan tempo iringan!” Tukiran menambahkan. Di kala
itu tangannya masih mengempit gitar.
“Namanya juga masih
latihan pertama!” Wiwid berkomentar.
“Justru itu!” sambut Andika.
“Maksud Mas Andika?” tanya
Ambar penasaran.
Andika memperbaiki cara
duduk. “Justru karena ini masih latihan pertama, maka harus diikuti dengan
latihan-latihan berikutnya.”
Ambar dan lain-lainnya
memperhatikan Andika dengan ekspresi serius.
“Maksudku ... karena kita
belum kompak nyanyi, latihannya tidak cukup sekali! Perlu beberapa kali lagi.
Kita lihat perkembangannya,“ ujarnya lagi menjelaskan.
”Yang bilang latihan cuma
sekali itu siapa, Mas Andika?” Parjan ikut nimbrung. ”Kan dah direncanakan
latihan sebulan.”
”Aduh, Pak Kadus pura-pura
gak tau!” Tukiran berkoar. ”Kayak gak pernah muda aja.”
Parjan menautkan alis.
”Mas Andika itu sebenarnya
sudah tau latihan memang gak sekali!”
”Maksudnya?” Parjan
penasaran.
”Dia itu sengaja bilang
bahwa latihan berkali-kali itu sangat penting. Soalnya dia seneng ada yang
nemenin berangkat latihan!” Tukiran bicara enteng sambil melirik ke arah Andika
dan Nuning.
Nuning terlihat kaget.
Agaknya dia dapat menangkap arah ucapan Tukiran. Dia sangat tidak menduganya.
“Ya, jelasnya Mas Andika
bisa menjemput Nuning lagi saat latihan!” Tukiran masih menukas. Nuning
betul-betul salah tingkah. “Kok?” ujarnya tak sadar.
“Udah, Mbak Nuning gak
salah kok!” Ambar memberi komentar. “Kita-kita dah tau, Mas Andika yang punya
inisiatif jemput meski rumah Mbak Wiwid lebih dekat ke Mbak Nuning. Tadi
sebelum kalian nyampe, Pak Kadus dah kasih penjelasan.”
Terlihat Nuning makin
salah tingkah.
“Hei, Mbak Ambar! Kamu
jangan asal menuduh, ya. Kasihan itu Mbak Nuning!”
ujar Andika dengan gaya seakan marah.
Ambar tertawa. “Mas Andika
jangan malah menuding Nuning. Kan betul Mas Andika yang minta ke Pak Kadus
jemput Nuning!”
Andika garuk-garuk kepala.
Dia cepat-cepat menguasai diri. “Tapi masalahnya Mbak Wiwid kan tidak menjemput
Nuning!” ujarnya kalem.
“Bagaimana mau menjemput,”
Wiwid menukas,”Mas Andika sendiri kan yang melarang. Waktu minta pamit ke rumah
Wid, Mas bilang mau menjemput Nuning. Mas bilang akan minta izin ke Paklik Broto untuk menjemput Nuning,” lanjut Wiwid.
Keriuhan pecah lagi mendengar penjelasan Wiwid. Sontak mereka
menunjuk Andika.
Andika tidak mau mati
konyol. “Tapi jangan lupa...!” Andika berseru di antara tudingan
teman-temannya.
“Apa lagi?” Ambar dan
teman-temannya bertanya hampir bersamaan.
“Mengapa kalian terlalu
curiga. Mas kalian ini menjemput Nuning atas dasar rasa tanggung jawab,” tukas
Andika. “Selaku ketua karangtaruna, Mas tentu harus bertanggung jawab terhadap
anggota. Termasuk dalam soal antar
jemput!”
“Weleh-weleh!
Lagunya ... mestinya nyari argumen itu yang lebih sip. Sehingga alasan bisa
diterima temen-temen. Yang dijemput kok
hanya Mbak Nuning!” Tika menyeringai.
Andika tetap tidak mau
kalah. “Soalnya kalian tidak ada yang perlu dijemput! Maksudku, tidak ada yang
minta dijemput.”
“Emangnya Mbak Ning minta
dijemput ya sama Mas Andika?” tanya Tukiran ke arah Nuning.
“Nggak!” Nuning dengan
lugunya cepat menggeleng.
”Wee...!” Teman-teman Andika langsung
berkoor.
“Ya sudah. Aku … aku yang punya inisiatif jemput Nuning. Gitu aja. Siapa
takut?” ujar Andika kemudian.
Koor ketawa membuncah lagi.
“Ssstt.. . ! Sudah malam!”
Andika langsung bersuara. Dia menempelkan jari telunjuk di ujung kedua bibirnya.
Sikapnya itu malah membuat
teman-temannya tambah ramai. Bagaimana tidak. Semua tahu. Itu siasat Andika
agar dirinya tidak dipojokkan.
Untungnya di kala itu kelompok tua datang. Mereka telah siap pulang.
”Ini anak muda dari tadi
ngakak melulu!” Bu Parjan bicara. ”Ngobrol terus sementara snack masih banyak yang tersisa. Mestinya sambil disambi.”
“Sudah kami makan kok, Bu!
Enak rasanya!” Tukiran menyahut. Sejalan dengan itu tangannya bergerak mencomot
satu pisang goreng.
“Tapi kan masih banyak itu.
Harus sampai habis!” kata Bu Parjan lagi. “Ayo yang lain seperti Mas Tukiran
itu loh. Ayo, ngambil lagi.”
“Mungkin yang lain pada
malu, Bu!” Tukiran nyerocos di antara kunyahan.
“Walah kok pakai
malu-malu,” Parjan kali ini bersuara. “Wong
nggak ada siapa-siapa.”
“Nggak tau ini,” Tika
menjawab. “Ngakunya saja malu-malu. Padahal biasanya malu-maluin!” lanjutnya
berkelakar. Langsung suasana kembali ramai.
* * *
Saat-saat akan berpamitan, keriuhan terjadi lagi. Pasalnya
Andika bersikeras mengantarkan Nuning pulang. Sementara Nuning telah bersiap di
samping Wiwid. Tanpa sepengetahuan
Andika, Nuning telah minta pulang bersama Wiwid. Nuning tidak ingin jadi
bulan-bulanan kelakar teman-temannya.
“Setidaknya untuk hari ini
biarlah Mas dulu yang mengantarkannya ...,” pinta Andika lembut. ”Tadi kan Mas
sendiri yang jemput. Apa nanti kata orangtua Nuning jika yang mengantarkan
putrinya bukan orang yang semula menjemputnya.”
Semua terdiam kali ini.
Mereka dapat memahami logika yang disebutkan Andika.
”Bisa-bisa aku dituduh
nggak bertanggung jawab nanti. Padahal pemimpin kan mestinya bertanggung jawab,” lanjut Andika.
“Masuk akal sekali alasannya!”
Tukiran merespon dengan mimik lucu. Tentu saja hal itu memancing tawa lagi.
“Sudahlah. Saya kira Mas
Andika benar!” Akhirnya Parjan menengahi. “Kalian ini kok masih saling
menyindir.”
Anak-anak tersenyum.
Termasuk Bu Parjan.
”Tadi kan sudah saya bilang,
sesama bis kota dilarang saling mendahului. Jadi jangan saling nyeneni. Wong
cuma ngantar jemput kok komentar kalian macem-macem.”
Karena dibela, Andika
merasa di atas angin. Tanpa sungkan dia langsung mengajak Nuning untuk menuju
sepeda motornya.
”Tapi ...,”Nuning tidak
meneruskan kata-kata. Dia berdiri dengan rasa serba salah. Dia mencoba melirik
ke arah Wiwid. Wiwid malah memberi tanda dengan tangannya supaya Nuning
mengikuti Andika.
Tidak ada pilihan lain, Nuning
mengikuti langkah Andika. Tanpa
komentar. Baginya menenangkan gemuruh di dada lebih penting daripada
mengeluarkan kata-kata. Dia takut, salah komentar malah membuat dirinya lebih tersudut.
Saat-saat motor telah
melaju di antara jalan dusun, Andika mengajak Nuning berkomunikasi. “Maafkan
Mas Dika, ya Ning!” ujar Andika di antara deru sepeda motor.
“Tentang apa, Mas?” tanya Nuning singkat.
“Itu loh tadi. Gara-gara
Mas Dika mengantar jemput, kamu akhirnya menjadi malu. Eh ... maksud Mas ...
seakan Mas Dika mempermalukan kamu!” ujar Andika. ”Kita-kita tadi hanya
bercanda kok. Jangan diambil hati.”
“Nggak apa-apa kok, Mas!” Nuning menyahut.
“Betul kamu nggak marah,
Ning?” tanya Andika serius.
“Kenapa harus marah.
Mestinya Nuning malah berterima kasih karena Mas Dika mau mengantar jemput
orang seperti Nuning.”
“Kok bilang gitu sih? Apa
maksudmu dengan kata ‘orang seperti Nuning’? Andika keheranan.
Nuning menghela nafas.
“Nuning kan bukan anak sekolahan lagi, Mas!” jawab Nuning dengan suara berat.
Tetapi jawaban Nuning itu malah membuat Andika tergelak.
“Kenapa tertawa, Mas?” Nuning penasaran.
“Soal jemput-menjemput
ini tidak ada hubungan dengan status sekolah atau tidak sekolah!” sahut Andika
menjelaskan. “Masalahnya kamu itu kan penyanyi inti, Ning.”
“Jadi maksud Mas, Nuning
ini diantar jemput karena penyanyi inti. Begitu maksudnya, Mas?” Nuning ingin
penegasan.
“Setidaknya kamu memang
penyanyi inti. Jadi layak untuk
diperlakukan secara khusus!” kata Andika lagi.
Nuning mendesah. Ketika itu rumah Nuning telah dekat. Andika segera
menurunkan gas. Dengan kesibukannya itu, ditambah lagi karena membelakangi
Nuning, Andika tidak tahu bagaimana respon Nuning atas kata-katanya terakhir.
Sesungguhnya, betapa
terpukulnya hati gadis itu. Alasan
mengantar jemput karena penyanyi inti, itu jelas mengecewakan Nuning. Andika
tidak tahu, Nuning sebetulnya berharap lebih dari itu.
“Tiga hari lagi Mas jemput,
ya ...!” Andika menukas sesaat Nuning telah turun.
“Nggak usahlah, Mas!”
Nuning menggeleng. Suaranya terdengar tegas.
Andika agak terkejut atas
penolakan Nuning itu. “Kenapa, Mbak?” tanya Andika dengan tatapan tidak
mengerti.
Nuning menggeleng lagi.
“Nanti biar bareng Mbak Wiwid aja!”
“Nanti Mas Dika juga
bisa bilang ke Wiwid biar Mas aja yang menjemput!” Andika masih bersikeras.
“Langsung ya bisa, lewat SMS juga nggak masalah.”
“Owalah, kok
Nuning lupa. Tadi malah sudah bilang ke Mbak Wiwid supaya dia aja yang jemput.
Kami perginya bareng. Jadi nggak usah repot jemput Ning, Mas!” Nuning cepat
menolak. Suaranya lebih tegas.
Andika mengerutkan
kening. Dia menangkap nada keketusan dalam jawaban penolakan Nuning. “Tapi
kenapa. Apa kamu marah, Ning?”
“Gak!” Nuning
menggeleng.
“Bener gak apa-apa?”
tanya Andika minta kepastian.
“Nggak. Nuning nggak
apa-apa, kok. Cuma ingin supaya bareng dengan Wiwid aja! Lagian tadi Wiwid juga
mengiyakan supaya kami bareng,” tukas Nuning dengan mantap.
Andika masih belum dapat
menyelami perasaan Nuning. Dia masih tidak mengerti. Dicobanya menatap mata
Nuning. Tetapi gadis itu malah menekuri tanah. Di bawah temaram cahaya lampu,
Andika bisa melihat arah tatapan mata Nuning.
“Yo wis. Kalau
begitu nanti tidak Mas jemput! Mas Dika pamit dulu,” ujar
Andika kemudian. Dia segera mempersiapkan motor. Tidak dilihatnya anggukan
kepala Nuning.
“Tapi, Mas . . . !” Nuning
berkata setengah berteriak.
Andika menoleh.
”Makasih ya, Mas!” ujar
Nuning lembut.
Andika tersenyum.
Kepalanya dianggukkan. ”Sama-sama, Mbak!”
Setelah itu Andika
segera melajukan sepeda motornya. Tinggallah Nuning yang kini bermain dengan
pikiran dan perasan.
“Soal jemput-menjemput
ini tidak ada hubungan dengan status sekolah atau tidak sekolah! Masalahnya
kamu itu kan penyanyi inti, Ning. Setidaknya kamu memang penyanyi inti. Jadi
layak untuk diperlakukan secara khusus!” kata-kata itu kembali terngiang dalam
benaknya.
Hm, jadi Mas Andika
menjemputku karena penyanyi inti! desah suara hati Nuning. Betapa kecewanya
dia. Padahal sesungguhnya dia berharap lebih dari itu. Nuning sangat berharap Mas Andika menjemputnya karena alasan lain.
Tapi, ah, mestinya aku tau
diri. Mestinya aku bercermin siapa diriku. Tidak pantas berharap banyak kepada
Mas Andika yang anak sekolahan. Sekaligus anak orang yang terbilang berada di
desaku! Nuning mendesah lagi dalam hati.
* * *
Keesokan harinya, sebagaimana biasa Nuning sudah bangun
pagi-pagi sekali. Air hangat untuk mandi bapaknya sudah disiapkan. Ketela untuk
sarapan pun sudah berada di atas kompor.
Saat-saat begitu biasanya bapaknya sudah bangun dan bersiap-siap
mandi. Namun kali ini Nuning belum melihat bapaknya keluar kamar. Sedari tadi
cuma batuknya terdengar menembus dinding.
Nuning kembali melihat ke
arah jam weker di dinding. Meski sudah kelihatan lusuh dan tua, jam peninggalan
sejak almarhumah ibu kandungnya itu masih akurat penunjuk waktu. Hm, sudah
setengah tujuh, mengapa bapak belum bangun juga? pikir Nuning. Jangan-jangan
penyakitnya kumat lagi, bisik hati Nuning.
Tidak sabar, kemudian
Nuning mengetuk pintu. “Pak! Bapak! Apa Bapak belum bangun, ya!” seru Nuning.
Sampai beberapa kali, tidak ada sahutan.
Dibukanya pintu kamar
orangtuanya. Tidak terkunci. Begitu masuk, langsung terlihat bapaknya. Broto sedang
bersandar ke dinding yang rapat dengan tempat tidur. Posisinya setengah duduk.
Tangan Broto memegangi dada.
Sementara itu di sebelah
Broto, Suharti tetap tergolek dengan tanpa rasa terusik. Nuning tidak merasa
aneh lagi pada kebiasaan ibu tirinya itu.
“Bapak!” Nuning berteriak
kecil. Dihampirinya Broto. “Kenapa, Pak?” tanya Nuning lagi.
Broto tidak mengeluarkan
suara. Dia hanya mengangguk sambil memberi tanda menunjuk ke arah dadanya.
“Sakit, Pak? Kalau begitu
sebaiknya nanti Bapak berobat wae, Pak!” usul Nuning. Suaranya
menunjukkan kegundahan perasaannya.
“Berobat? Ngerepotin aja!
Nanti pake biaya lagi!” Suharti tiba-tiba bicara. Posisinya masih tergolek di
tempat tidur.
“Tapi Bapak sakit, Bu!”
kata Nuning dengan nada prihatin. Dipeganginya Broto.
Suharti melengos. “Yang
bilang sehat siapa rupanya? Karna sakitlah maka semua jadi habis. Sehingga kita
terpaksa tinggal di gubug seperti sekarang ini. Berobat tapi nggak
sembuh-sembuh!”
“Yang namanya usaha kan
harus terus dilakukan, Bu. ..!” Nuning protes. Entah dari mana
datangnya keberanian mengucapkan kata-kata itu.
“Eeee ... kowe ini cah
cilek kok malah ngajari,” sergah ibu tirinya dengan berang. Dia bangkit
dari posisi yang semula tergolek. “Usaha apa yang tidak dilakukan. Ke sana ke
mari sudah diobatkan. Hasilnya tetap nihil. Bapakmu ini tetap saja nggak
sembuh.”
Nuning terdiam kali ini.
Dia tau tabiat Suharti. Tidak berani dia mengomentari.
“Sementara sekarang ini
utang di sana sini numpuk. Coba siapa sanggup menjadi ibu rumah tangga seperti
ini.”
Nuning tetap diam.
“Kalau begini menyesal
rasanya. Mengapa aku tidak mengikuti nasehat Mas Rusdi, kakakku yang di Jakarta
itu. Kalau aku ikut pesannya untuk tidak kawin dengan orang kampung. Pasti
tidak sesulit ini nasibku,” sambung Suharti dengan ekspresi wajah muram.
“Tapi ...!” Nuning sempat
mau merespon. Namun tidak berlanjut. Tangan lemah Broto telah menahannya.
Orangtua itu memberi isyarat dengan tangan agar Nuning diam.
Nuning patuh. Perasaan
Nuning sesungguhnya tidak bisa menerima perlakuan ibunya. Kalau selama ini dia
dimarah dan dibentak-bentak karena kesalahan, Nuning masih bisa terima. Namun
kalau sudah bapaknya yang disalahkan, rasanya tidak adil.
“Tapi apa ...?” Kini Suharti
menghardik sambil menatap Nuning dengan tajam. “Kowe ini makin
menjadi-jadi aja, ya. Kowe kira di depan bapakmu opo aku bisa
jinak?” serunya lagi sambil menuding-nuding Nuning dengan jari telunjuk.
“Sudahlah, Bu. Bapak ini
sakit!” Broto mencoba menenangkan istrinya. Dipegangi dadanya. “Aku ora iso denger yang keras-keras!”
“Sakit iya aku ngerti kowe
itu sakit. Tapi anakmu itu loh. Tidak punya adat dan sopan santun!” Dada
Suharti terlihat turun naik saat mengucapkan kata-kata.
“Tadi itu Nuning hanya
bilang perlu berobat. Dengan keadaanku sekarang ini, Ning betul. Aku kan memang perlu berobat!” Broto menuturkan
dengan suara dibuat tenang. Ditahannya rasa emosi.
“Berobat lagi ... berobat
lagi .... enak aja?” Suharti menekan suara. ”Mana uangnya? Memangnya berobat
nggak pake uang.”
Broto terdiam.
”Kalau ngerti pasti anakmu
itu tau diri. Ya mbok pergi sana mencari uang. Supaya ada biaya berobat.”
Broto tetap diam.
”Kalau cuma mengandalkan
gaji pegawaimu yang mepet itu mana cukup.
Potongan begitu banyak. Untuk makan saja sudah keleleran. Apalagi
nek ditambah ngurus berobat. Hancur mina,” lanjut Suharti dengan
nada bersungut.
“Mau cari uang ke mana si
Nuning, Bu? Sekolahnya aja udah Ibu putuskan. Lagi pula umurnya belum cukup!” Broto bicara lagi. Kepalanya
digeleng-gelengkan.
“Apanya yang sulit.
Mudah saja. Sekarang ini pembantu banyak dibutuhkan,” Suharti berkata dengan mudahnya.
Broto mendelik. “Jadi
pembantu?”
“Yaiyalah. Banyak kok
orang yang menjadi pembantu. Mereka bisa membantu meringankan biaya hidup
keluarga. Lihat saja itu anak tetangga seperti anak Pak Paiman, anak Bu Lasmi,
anak Pak Jamingun. Malah anak Pak Jamingun bisa jadi TKI. Ah, pokoknya banyak
contoh! Di mana ada kemauan di situ ada jalan!” tukas Suharti.
“Anakku menjadi
pembantu?” ulang Broto seakan tidak percaya pada pendengaran.
“Lalu mau jadi apa
anakmu yang nggak ada sekolahnya ini? Mau jadi direktur, gitu?” tanya Suharti
dengan ekspresi wajah ketat.
“Wah ... wah ... sudah
sekolahnya diputus, sekarang mau disuruh
jadi pembantu?” Broto memperlihatkan wajah tidak senang. Ditatapnya Suharti lekat-lekat.
Suharti tidak mau kalah.
“Sekolah lagi ... sekolah lagi!” ujarnya seperti menyesal. “Selalu aku yang disalahkan. Kalau anakmu ini sekolah,
kita mau makan apa?”
Broto diam
”Sudah dibilang, utang di
sana sini. Nyebar koyo virus yang bersarang di tubuhmu itu. Kridit melulu … sampe malu aku!” kata Suharti
bernada sewot.
Broto tetap diam.
“Atau kalo nggak, mungkin
jadi buruh wae. Pabrik-pabrik kan banyak.
Kerja di pabrik kulit misalnya,” Suharti kembali bicara.
“Buruh sama pembantu itu
sama saja,” Broto kali ini berkomentar.
“Jadi mau jadi apa? Mau jadi direktur. Ya udah jadi presiden
sekalian!”
“Tapi … uhuk ... uhuk!”
Broto tidak jadi meneruskan kata-katanya. Dipeganginya dadanya.
Melihat bapaknya dalam
kondisi payah begitu, Nuning segera mengurut pundak bapaknya. “Sudahlah Pak. Sekarang Bapak berbaring saja
dulu,” ujar Nuning dengan perasaan gundah.
”Wis aku duduk di kursi
saja!” pinta Broto.
Nuning segera membantu
bapaknya menuju kursi.
***
Setelah membaringkan bapaknya, Nuning bergegas ke
belakang. Direncanakannya menyiapkan kain untuk dibasuh ke air hangat. Dia
selalu melakukan jika bapaknya tidak mandi.
Selepas dari mulut pintu belakang,
Nuning dicegat Suharti. Mata Suharti terlihat tajam. “Eh ... kowe jangan
macam-macam, ya. Jangan mentang-mentang di depan bapakmu jadi banyak
tingkahmu!” sergah Suharti sambil mengacung-acungkan tangan.
Nuning diam. Kepalanya
menunduk. Dia tidak mau ambil risiko. Tidak ada guna melayaninya, pikir Nuning.
“Hei! Kowe ngerti
apa nggak?” hardik Suharti. Dia merasa
tersinggung Nuning diam saja.
“Me ... mengerti, Bu!“
Nuning menyahut agak tergesa.
“Sebenarnya kurang apa.
Selama ini Ibu begitu baik kepadamu. Meskipun sebetulnya aku ini hanya ibu
tirimu!” ujar Suharti lagi. Kali ini suaranya dibuat melunak.
Nuning terdiam.
“Aku sudah berusaha
menghindarkan pikiran yang biasa digambarkan orang atau cerita-cerita dalam
film.”
Nuning tetap diam.
“Selalu digambarkan ibu tiri itu seakan kejam dan tidak berperasaan.
Tapi kowe itu tau dan merasakan sendiri.
Aku begitu memperhatikanmu. Aku
begitu baik kepada kowe sama Arum ... iya kan?” sambung Suharti.
Nuning tidak merespon.
“Iya kan?” ulang
Suharti dengan tambahan penekanan.
Nuning tersadar.
Buru-buru ia mengangguk.
“Nah itulah. Tapi
kenyataannya apa ...? Kowe selalu saja bikin ulah. Ya seperti itu tadi. Mentang-mentang
di depan bapakmu yang sakit-sakitan itu ... ulahmu macam-macam. Kowe
itu semakin menjadi-jadi,” sambung Suharti masih dengan suara ditekan.
Nuning diam.
“Maka . . . kini tidak ada
pilihan. Kowe itu harus dididik dengan keras. Kelihatannya model kowe
ini mesti dipecut dulu baru jalan!”
Nuning menghela nafas.
“Kalau lain kali masih
macam-macam, hm, awas!” ancam Suharti serius.
Terdengar suara tangisan
Tutik.
“Pergi sana. Diurus itu
adikmu!” sergah Suharti dengan nada geram. Setelah mengucapkan itu, dia melangkah ke ruang depan.
* **
Dua hari menjelang latihan kedua, Wiwid datang menemui
Nuning. Nuning baru selesai menyapu
halaman rumah. Ketika itu hanya ada Nuning, Arum, dan Broto. Suharti bersama Tutik
tengah keluar menjenguk anak lahir
“Tumben Wid kamu dateng!”
Nuning menyambut dengan ramah. Sementara Wiwid turun dari motor.
“Yah biasa ... urusan
bisnis!” Wiwid berkata sambil tertawa kecil. “Tapi bisnis apa ya? Ah ... nggak
taulah, Ning,” lanjut Wiwid kebingungan sendiri.
Nuning tersenyum seraya mempersilakan
Wiwid masuk.
“Ada apa, Wid?” tanya
Nuning setelah berada di dalam rumah.
“Ah, nggak. Cuma main aja!” Wiwid menjawab
enteng. “Soalnya aku sudah kangen juga sih sama kamu, Ning. Sekalian ngobrol
grup nyanyi kita.”
“Yah ... syukurlah kamu mau dateng,” Nuning
bicara serius. “Soalnya sejak belakangan ini sudah jarang yang mau datang!”
“Jangan gitu dong, Ning!”
Nuning menghela nafas.
Terlihat berat.
Wiwid memperhatikan Nuning.
“Kenapa, Ning? Kamu jadi lain sekarang!” tanya Wiwid kemudian. Dia tetap diliputi rasa penasaran.
“Bagaimana tidak lain,
Wid!” Nuning cepat menukas. “Statusku saja sudah berbeda antara dulu dengan
sekarang.”
“Maksudmu, Ning?” Wiwid
belum mengerti arah ucapan Nuning.
Nuning tersenyum hambar.
“Aku sekarang kan pengangguran. Nggak sekolah lagi. Masa depan nggak jelas,”
ucap Nuning dengan nada terenyuh.
Wiwid terdiam. Agaknya dia
bisa menyelami perasaan Nuning.
“Beruntunglah kamu punya
orangtua sehat. Juga ibu yang baik. Semua menyayangimu. Sehingga bisa terus
melanjutkan sekolah, Wid!” lanjut Nuning sembari menatap Wiwid.
Wiwid mendesah sekilas.
“Kasihan kamu, Ning. Kasihan juga bapakmu. Oh,
ya, Paklik Broto ada di mana, Ning?”
Wiwid mengedarkan pandangan ke kamar.
“Ya, bapak ada!” Nuning
mengangguk. ”Waktunya memang terpaksa lebih banyak di tempat tidur. Apalagi
kemarin penyakitnya kambuh. Meski sudah agak mending sekarang. Sudah dua hari ini bapak nggak masuk kerja!”
“Sakit kanker memang berat ya, Ning?”
“Bukan hanya kanker,
Wid,” Nuning menggeleng. “Sudah komplikasi.
Macem-macem kata dokter. Tapi yah begitulah. Untuk mengobatinya kami sudah
tidak punya biaya lagi!” lanjutnya. Mata Nuning terlihat mulai berkaca-kaca.
Wiwid terdiam. Dia larut
dalam kesedihan temannya itu.
“Tapi, ah, jadi kelupaan ni
wedang-nya,” tiba-tiba Nuning
teringat sesuatu.
“Aduh nggak usah
repot-repot, Ning!” Wiwid mencegah. “Koyo tamu jauh.”
“Nggak apa-apa kok. Cuma mau menyiapkan air putih. Yang
ada cuma itu!” ujar Nuning tidak ragu. Dia segera beranjak ke belakang.
“Wis, Ning. Bener.
Nggak usah!” Wiwid menukas seraya menggelengkan kepala.
“Nggak apa-apa,” ujar
Nuning sembari tetap meneruskan langkah.
Wiwid kehabisan kata-kata.
* * *
Nuning muncul lagi. Segelas minuman dibawanya di atas
baki.
“Walah …
walah … Mbak Nuning, sudah dibilangin jangan … tapi ya masih disiapin minum!”
Wiwid bicara sesaat setelah Nuning meletakkan gelas minuman.
“Nggak apa-apa,” Nuning
tersenyum. “Supaya nggak nyalahi
peraturan.”
Mata Wiwid mendelik.
“Nyalahi peraturan?” tanyanya penasaran.
“Kita itu wong timur,”
Nuning menyahut. “Peraturannya ... ada tamu harus dilayani dengan baik. Meski
air putih, yang penting wis ngikuti aturan, ngargani tamu.”
Wiwid tertawa. “Owalah … Ning. Kirain
peraturan apa?”
Nuning tersenyum.
“Sebenarnya ada yang mau kusampaikan kepadamu,
Ning!” Sejurus kemudian, Wiwid bicara lagi.
“Apa itu?” Nuning tertarik. Diletakkannya baki
pembawa minuman di kursi sebelahnya.
Wiwid meraih gelas minuman. Meneguk isinya
sedikit. Baru kemudian bicara, “Begini. Kemarin Mas Pram, kakakku, memberi aku
tiket nonton konser musik kampus. Tempatnya di JEC.”
Nuning tertarik. “Konser musik?”
Wiwid mengangguk.
“Kampus Mas Pram mengadakan pertunjukan musik. Diundang grup-grup musik kampus
di Yogya ini. Kebetulan Mas Pram termasuk
salah satu panitia. Jadi dia dapat tiket ekstra. Namanya panitia ... tentu dong
ada jatah tersendiri.”
“Wah ... asyik, ya! Kapan itu?” Nuning kian tertarik.
“Masih lama juga sih.
Tapi aku langsung nggak sabaran nyampein kepadamu, Ning!” tukas Wiwid
bersemangat.
”Iya to?”
“Yah sekalian mau mastiin
keberangkatan latihan lusa di rumah Pak Kadus.
Kamu jadi bareng aku atau masih dijemput Mas Andika?”
“Ya, aku kan sudah
bilang supaya kita bareng.”
”Bisa aja kan waktu
kemarin itu kalian bareng pulang lalu ada deal
yang baru!” Wiwid bicara sambil mengerlingkan mata.
Nuning mengibaskan tangan
di udara. ”Ngawur aja kowe, Wid. Gak
ada itu. Tapi yang penting kowe nggak keberatan kan bareng aku.”
“Walah kowe itu
gimana sih, Ning. Nggih, jangan kuatir. Mosok sih keberatan?”
”Ya makasih.”
Wiwid mengembangkan senyum.
”Ohya, gimana soal konser yang kubilang
tadi, Ning?”
Nuning menghela nafas. “Memang persisnya kapan, Wid ?”
“Empat hari lagi.”
Nuning terdongak. “Empat
hari …? Kalau empat hari berarti ya nggak lama lagi dong, Wid!”
Wiwid mengangguk.
“Kok ngasih taunya baru
sekarang?”
“Nggak tau itu. Mas Pram
juga ngasih taunya baru tadi malam. Dan cara ngasih taunya kamu tau, Ning . . .
?“ kata Wiwid dengan ekspresi lucu.
“Wah ... mana aku tau!”
sahut Nuning seraya angkat bahu.
“Ya begitu itu
tadi. Seperti aku ngabari kamu!”
Nuning mengerutkan kening. “Memang tadi piye? Kok aku jadi
bingung,” dia bertanya dengan rasa penasaran.
“Ya pokoknya Mas Pram itu
ngasih taunya mendadak gitu!”
Nuning
mengerjap-ngerjapkan mata.
“Sebetulnya dah lama sih
tau Mas Pram jadi panitia! Tapi soal undangan itu baru dikasih tadi malam,”
terang Wiwid. “Selama ini Mas Pram banyak keluar rumah. Ya sibuk ngurusin
konser itu.”
Nuning manggut-manggut.
“Konser dalam rangka apa to,
Mbak?” Nuning bersuara lagi.
“Nyambut Tujuh Belasan.
Agustusan.”
Nuning mengernyitkan
kening. ”Tujuh Belasan kan masih sebulan lagi?”
”Iya sih!” Wiwid
mengangguk. ”Tapi kegiatannya dibuat dalam rangka menyambut Tujuh Belasan.”
“Ooo ... gitu.”
“Ooo ... bulat!” Wiwid
terkekeh. ”Tapi kayaknya seru loh, Ning. Di
samping bisa lihat-lihat anak kampus, kita juga bisa ketemu artis ibukota.”
“Apa ada artis
ibukotanya to?”
“Yaiyalah ...,” Wiwid
menjawab dengan intonasi jenaka. “Menurut Mas Pram begitu. Malah produser
rekaman juga ada. Pokoknya kompletlah.”
“Seru dong ya, Wid.”
“Makanya, kamu ikutlah,
Ning. Siapa tau kowe kegaet disuruh ikut rekaman,” ujar Wiwid kemudian
berpromosi.
“Hush … ngawur. Ngimpi
apa mau jadi artis?“ Nuning tergelak.
Wiwid juga tertawa.
“Siapa artis yang
datang, Wid?” Nuning tertarik.
Wiwid menyebutkan nama kelompok musik terkenal ibukota.
”Yang bener, Wid?” Nuning
bertanya penuh semangat. Lewat radio selama ini Nuning sering mendengar lagu-lagu
kelompok musik tersebut. Dia memang nge-fans
pada grup musik itu.
“Mosok aku bohong
sih?” Wiwid bicara serius. ”Kok ya tega-teganya nuduh aku bohong.”
Nuning tergelak sejenak.
“Wah seru nek gitu,” ujarnya kemudian seraya mengangguk-anggukkan kepala.
“Makanya, Ning. Kita nonton ya, Ning!” ajak Wiwid penuh semangat pula.
Nuning menghela nafas.
Tatapannya kosong.
Wiwid memperhatikan Nuning
seksama. Dicobanya menebak-nebak jalan pikiran temannya itu. “Kenapa, Ning?
Soal kendaraan? Ya nanti kujemput ke mari. Kita bareng!”
“Tapi ... apa kamu nggak
malu mengajak temen seperti aku, Wid?”
“Kok malu?” Wiwid terlihat kaget.
Dipandangi temannya itu lekat-lekat. “Kamu bicara apa, Ning?”
“Status kita beda. Kamu
anak sekolahan sedangkan aku hanya pengangguran,” ujar Nuning nelangsa.
Wiwid mengerutkan kening.
“Kamu kok bicara begitu, Ning? Aku nggak pernah memandang adanya perbedaan di
antara kita karena soal sekolah!”
“Bagimu memang mudah
bicara, Wid. Tapi aku? Akulah yang paling merasakan bagaimana sakitnya. Putus
sekolah dan menjadi pengangguran,” sahut Nuning dengan suara datar.
Wiwid tercenung sesaat. “Tapi
putus sekolah kan bukan kemauan kamu, Ning,” tukas Wiwid kemudian. “Keadaan
yang memaksa sehingga berada pada situasi seperti sekarang ini.”
Nuning terdiam. Matanya
menekuri lantai. Mengikuti irama kegundahan hatinya.
Wiwid dapat menyelami
perasaan teman bekas satu kelasnya itu. “Ada begitu banyak anak tidak
beruntung. Harus putus sekolah karena alasan biaya. Tidak punya pilihan lain,”
ujar Wiwid. “Andai kamu bisa memilih, tentu putus sekolah tidak menjadi
pilihanmu.”
Nuning masih diam. Sekilas
dia menatap Wiwid, sesudahnya melepaskan pandangan ke fokus lain. Menunduk dia.
“Tapi satu hal aku mohon, Ning.”
Wiwid memandang Nuning dengan tatapan serius.
Nuning kali ini mengangkat
wajah. Dipandanginya Wiwid, menunggu temannya itu melanjutkan ucapan.
”Status boleh berubah dari
yang tadinya sekolah menjadi tidak sekolah lagi. Tetapi ... sikapmu jangan berubah,
Ning. Setidaknya kamu harus kuat dan tabah. Jangan kalah oleh keberuntungan
yang tidak berpihak kepada kamu. Yakinlah semua ada hikmahnya.”
Nuning menatap Wiwid
lekat-lekat. Seakan mencari kebenaran
ucapan temannya itu.
Wiwid melanjutkan, “Di
mataku ... kamu adalah sosok seorang sahabat yang baik. Itu sebabnya aku senang
berteman denganmu. Hanya saja kesibukan
kamu ngurusin Paklik Broto dan
adanya Bulik kadang jadi menghalang pertemanan kita.”
Nuning tidak berkomentar.
”Maka ... kalau sekarang
sikapmu jadi berubah, aku nggak rela, Ning. Sikapmu yang membeda-bedakan
status di antara kita ... bagiku merupakan sesuatu yang tidak baik,” sambung
Wiwid sembari coba melihat respon Nuning atas ucapannya terakhir.
Nuning menghela nafas.
“Maafkan aku, Wid …,” pintanya pelan. “Bukan maksudku membedakan status di
antara kita. Aku hanya terhanyut pada keterpurukan situasi yang kurasakan
begitu mencekam perasaanku.”
Wiwid terdiam.
Nuning buka suara lagi
disertai desahan nafas, ”Hmh ... putus sekolah sungguh tidak mengenakkan.
Ijasah yang kupunya cuma lulusan SMP!” Intonasi suara Nuning semakin menurun.
Seiring dengan itu dia mengubah posisi wajah ke samping. Kelopak matanya telah
mulai dibuliri kristal bening.
Wiwid tetap dapat menangkap
kesedihan hati Nuning. “Sudahlah, Ning.
Anggap saja ini takdir,” ujar Wiwid. Suaranya mirip desahan.
Nuning menatap Wiwid
sekilas. Pandangannya dialihkan lagi. Kosong.
Beberapa saat dia membisu.
Wiwid tersadar bahwa dia
tidak boleh membiarkan Nuning larut dalam kesedihan. “Gimana, Ning. Kita jadi nonton konser musik kan ya?” Wiwid memecah
keheningan.
Nuning tidak langsung
menyahut. Pikirannya menerawang. Terlintas kondisi sakit bapaknya. Perhatian
khusus darinya tentu sangat dibutuhkan bapaknya.
Beban pikiran Nuning tidak
hanya itu. Bayang-bayang Suharti yang tidak pernah berpihak juga muncul di
benaknya. Bagaimana mungkin mendapat izin dari wanita pengganti almarhumah
ibundanya itu. Andaipun mendapat izin, mungkinkah ibunya itu akan menjagai
bapaknya yang dalam kondisi payah itu.
* * *
Keesokan harinya Wiwid datang lagi. Dia tidak sendiri. Sukesi
ikut mendampingi. Kali ini pun Nuning dapat bebas menerima teman grup menyanyi
acara Agustusan itu. Soalnya Suharti kembali tidak berada di rumah. Ibunya itu
menghadiri acara arisan RT. Tutik juga dibawa.
Arum juga ngumpul bersama
Nuning dan kedua temannya. Arum cenderung pasif. Dia lebih banyak bersikap
sebagai pendengar.
Untuk beberapa saat, Nuning
dan kedua temannya terlibat dalam obrolan santai. Selalu ada bahan yang
diperbincangkan. Namun akhirnya terungkap tujuan utama kehadiran Wiwid dan Kesi.
Mereka ingin Nuning bisa ikut acara nonton konser di kampus Pramudia, kakak
Wiwid. Wiwid merasa perlu mengajak Kesi mempengaruhi Nuning.
”Ayolah, Ning. Kowe
harus bareng-bareng kita nonton konser. Mumpung gratis,” desak Kesi kesekian
kalinya. ”Apalagi tuh ada artis ibukota. Barangkali aja kita bisa kenalan ...
hik ... hik ...,” lanjut Kesi sambil terkekeh.
”Iya, Ning. Kemarin kamu
belum ngasih jawaban. Makanya Wid datang lagi sekarang. Bareng Kesi supaya lebih
jelas. Kamu harus ngasih jawaban.
Jawabannya harus oke, gitu!” timpal Wiwid.
Nuning mendesah. ”Siapa
yang bilang belum ngasih jawaban? Kemarin Ning kan dah bilang gak mungkin ikut.
Ning punya tanggungan bapak. Kalian tau sendiri ... bapak sakit. Parah lagi. Dari
kemarin adanya cuma berbaring di tempat
tidur,” ujar Nuning sembari menunjuk ke arah kamar bapaknya.
Wiwid dan Sukesi
terdiam.
Nuning juga terdiam.
Kepalanya menunduk.
”Ya, baiknya ikut, Ning. Kan
ada Bulik yang bisa jagain!” Wiwid memecah keheningan.
Nuning menghela nafas.
Bayang-bayang Suharti memenuhi benaknya. Tetapi bukan hanya bayang-bayang.
Sosok Suharti malah benar-benar muncul bersama Tutik.
“Selamat sore, Bulik!”
Wiwid yang pertama menyambutnya dengan salam. Sukesi ikut menyapa.
“Selamat sore. Hm, ada tamu
rupanya,” sahut Suharti sambil menyerahkan Tutik ke tangan Nuning. “Sudah lama,
Mbak Wiwid dan Mbak Kesi?” lanjutnya seraya mengambil tempat duduk di samping
Wiwid.
“Mmh, baru kok, Bulik,” Wiwid menjawab ringkas.
“Loh ... tamunya kok cuma
dikasih air putih?” Suharti buka suara lagi. Pandangannya singgah di gelas yang
ada di hadapan Wiwid dan Kesi. Sekilas kemudian beralih ke arah Nuning.
”Gak apa-apa, Bulik!” Wiwid
cepat bicara. Diikuti anggukan Kesi.
“Kok bisa-bisanya kowe
cuma ngasih air putih. Kowe harus bisa membedakan tamu yang datang,
Ning. Terutama Mbak Wiwid kan anak orang terpandang di desa kita...!” tukas
Suharti sambil geleng-geleng kepala.
“Ah ... Bulik!” Wiwid
memotong. “Air putih saja sudah cukup, kok. Lagian siapa yang anak orang
terpandang, Bulik? Wiwid anak orang biasa kok. Nggak ada bedanya dengan
lainnya. Bulik ini ada-ada aja,” lanjut
Wiwid jengah.
Sementara itu Nuning
cuma bisa menghela nafas. Padahal jika jujur, ibu tirinya tentu akan merasa
malu sendiri. Bukannya Nuning tidak mau menyuguhkan air manis, tetapi gula di
dapur memang sudah habis sejak dua hari.
Nuning sendiri sudah
sejak menginformasikan masalah itu
kepada ibunya. Tetapi bukan jawaban manis yang didapat. Nuning malah dituding sebagai
anak perempuan tidak pandai mengatur penggunaan gula dalam situasi sulitnya ekonomi
keluarga.
“Eh ... Ning … itu
adikmu Tutik cepat dibawa. Jangan cuma dipegangi. Sudah ngantuk dia dari tadi. Antarkan ke tempat tidur! Sekalian dengan adikmu Arum
itu!” Suharti berujar lagi.
Nuning menurut. Tanpa
komentar segera dia membawa Tutik maupun Arum. Menuju ke kamar. Diam dan melaksanakan
perintah ibunya dirasa lebih arif. Padahal Nuning sadar betul, dia tadi tidak
langsung membawa Tutik karena diajak bicara soal minuman yang disuguhkan kepada
Wiwid dan Kesi.
“Sebetulnya ada perlu apa
Mbak Wiwid sama Kesi datang ke mari?” Suharti buka suara lagi.
“Ah, nggak. Cuma kangen aja
dengan Nuning,” Wiwid menjawab dengan ringan. Kepalanya digelengkan. Sementara
Kesi melakukan hal sebaliknya. Kesi menganggukkan kepala.
“Kangen? Wah Mbak Wiwid
bisa aja! Kangen kok sama yang sejenis,” ujar Suharti sambil tersenyum. “Kangen
mestinya ke anak laki dong. Lebih oke.”
Wiwid tersenyum. “Kan nggak
mesti to, Bulik! Kangen sama temen anak perempuan juga kan boleh, Bulik.”
“Iya juga sih!” Suharti
mengangguk. “Tapi kangen sama Nuning kan nggak pas. Apa Mbak Wiwid nggak malu
berteman dengan Nuning. Dia itu kan nggak sekelas Mbak Wiwid.”
Wiwid tersenyum lagi.
Cepat-cepat dia menukas, “Sekarang sih memang nggak sekelas lagi, Bulik.
Soalnya Nuning kan sudah nggak sekolah. Kalau
dulu sih sekelas.”
“Bukan sekelas itu yang Bulik maksudkan!” Suharti cepat meralat.
Wiwid pura-pura mengerutkan
kening.
“Maksud Bulik nggak level.
Mbak Wiwid dan Kesi ini kan anak sekolahan sedangkan Nuning pengangguran.
Nuning nggak sekolah lagi.”
Wiwid tetap mengerutkan
kening.
”Harusnya Mbak Wiwid malu.
Yah, setidaknya menurut aku, kalo pun
Mbak Wiwid sama Kesi nggak nganggep
Nuning, rasanya pantes-pantes wae,” sambung Suharti.
Wiwid kali ini lebih
memfokuskan tatapan. Ada nada keheranan dalam tatapannya. “Mengapa harus malu, Bulik?
Apa salahnya? Persahabatan nggak perlu dibuat batasan antara sekolah dengan
yang nggak sekolah.”
“Loh ... Mbak Wiwid ini bagaimana to?
Dibela kok malah nolak!” tanya Suharti dengan rasa tak puas.
Wiwid
menghela nafas.
“Aku itu kan membela Mbak Wiwid. Mbak Wiwid itu
anak sekolahan dan berasal dari keluarga terpandang. Mosok temannya orang
seperti Nuning.”
Wiwid menggeleng. “Bagi Wiwid ... teman itu
nggak milih-milih kok, Bulik. Kalaupun milih palingan yang baik-baik. Jangan berteman
sama anak yang nggak bener. Bisa-bisa kitanya terpengaruh jadi nggak bener
juga.”
“Owalah, Mbak Wiwid!” Suharti
geleng-geleng kepala. “Yo wis. Aku
nanya yang lain. Oh, ya, kalau nggak salah Mbak Wiwid sama Kesi juga ikut
nyanyi untuk acara syukuran Tujuh Belasan nanti di Kecamatan, ya?” lanjut
Suharti mengalihkan percakapan.
Wiwid mengangguk. “Iya, Bulik. Tapi kami berdua
ini cuma pelengkap kok. Nggak seperti Mbak Nuning. Dia itu penyanyi inti.
Suaranya bagus.”
“Wah ... kok komentarmu
sama dengan Mas Andika?” tanya Suharti. ”Waktu Mas Andika ke mari saat minta
pamit ke kami untuk ngajak Nuning nyanyi,
juga bilang Nuning bagus suaranya. Padahal apa bagusnya suara Nuning. Menurut
Bulik, suara Nuning malah seperti radio rusak yang kehilangan sinyal ... he... he ... he ....”
“Tapi ... bagaimana ya, Bulik.
Kayaknya semua mengakui kok! Iya kan, Kes?” Wiwid bicara dengan nada serius.
Kesi langsung mengiyakan.
“Ah . . . nggak betul itu .
. . ,“ Suharti protes. “Dia itu cuma gayanya aja.
Nggak suka Bulik ngelihatnya. Di rumah
... kerjanya cuma ndengerin radio. Dia itu sering-sering ngikuti lagu-lagu.
Perasaannya kayak penyanyi top yang diikutinya itu.”
“Kelihatannya Nuning
memang senang musik, ya Bulik!” Sukesi kali ini bersuara.
“Iya ... nanti kan bisa
jadi penyanyi kamar mandi ... he ... he ....” Suharti tertawa-tawa.
“Yah. . .bukan soal mau
jadi penyanyi kamar mandi atau nggak, Bulik!” tukas Kesi lagi. “Tapi yang jelas
menurut kami ... Mbak Nuning itu punya bakat nyanyi, suaranya bagus,”
“Nggih, Bulik!”
Wiwid mengangguk.
“Ah ... apa bagusnya si
Nuning,” Suharti tetap protes. “Kalau soal suara, Bulik kalian ini gini-gini
sebetulnya jauh lebih bagus.”
“Iya to, Bulik?”
pancing Wiwid.
Suharti mengangguk. “Tapi
yah. . . karena Bulik sudah tua saja ...
maksud Bulik sudah agak tua ... gitu.”
Wiwid sempat tersenyum.
“Lagian kalo untuk nyanyi
di tingkat Kelurahan ... lha ... jelas nggak mau aku. Gak level.”
“Bukannya kalo suara gak
ada hubungannya dengan tua atau muda, Bulik. Kalau memang bagus, tua atau muda sama aja. Banyak contoh penyanyi setelah
tua juga tetap oke,” Wiwid berargumen.
Suharti melengos.
“Memangnya apa sebelumnya Bulik
pernah tampil nyanyi di mana gitu?” tanya Wiwid lagi bermaksud mengumbar.
“Belum juga. Tapi sebetulnya suara Bulik bagus.”
“Ooo...gitu
to, Bulik.”
“Ah ... sudahlah, Mbak Wiwid. Nggak enak Bulik
bicara diri sendiri. Nanti dibilang sombong,” kata Suharti kemudian dengan
suara melunak.
Kali ini Wiwid tidak merespon. Matanya malah
tertuju ke arah kamar. Dia ingin Nuning dapat bergabung lagi.
“Dari tadi kalian ngomong
apa saja ke Nuning?” Suharti buka
percakapan lagi.
“Gak ada yang terlalu
penting kok, Bulik,” Wiwid menjawab dengan nada datar. Kepalanya digelengkan. ”Hanya
saja, sebetulnya kami ini datang mau ngajak Mbak Nuning, Bulik!”
“Ngajak Nuning? Ngajak
Nuning ke mana?” Suharti penasaran.
Wiwid menghela nafas
sekilas. ”Gini, Bulik. Nuning itu kan seneng musik. Kebetulan tiga hari lagi
mau ada konser musik. Kita berdua mau ngajak dia nonton konser itu. Barangkali
aja Bulik ngebolehin Nuning ikut.”
Suharti mengernyitkan kening. “Konser musik? Di mana?”
dia tertarik.
“Ceritanya ... tiga hari
lagi tuh kampusnya Mas Pramudia ngadakan konser musik,” sahut Wiwid. ”Pesertanya
grup-grup musik kampus. Para mahasiswa.”
”Wah, rame, dong.”
”Dan serunya lagi, dalam
konser itu ada penyanyi ibukotanya loh, Bulik. Sebagai bintang tamu, gitu. Di
samping itu, produser rekaman juga ada. Pokoknya asyiklah ...!” lanjut Wiwid penuh semangat.
“Ada penyanyi ibukota?
Siapa yang datang?” Suharti makin antusias. Dipandanginya Wiwid lekat-lekat.
Wiwid segera menyebutkan
grup musik yang rencana akan datang.
Suharti terlihat
berpikir-pikir “Mereka lagunya apa, ya Mbak Wiwid. Bulik kok ya lupa.”
Wiwid tertawa. ”Lupa atau
nggak gak ingat, Bulik?”
”Lupa dengan gak ingat apa
bedanya?” Suharti merespon sambil nyengir.
”Wiwid ngakak. ”Ya, bilang
aja gak tau, Bulik!”
”Yah ... nggak tau ...!
Pasti grup musik baru, kan?”
”Haa ...?” Wiwid menautkan
alis. Dia mencermati keseriusan Suharti.
“Mosok Bulik nggak tau? Yang bener, Bulik?”
“Bulik taunya Hetty Koes
Endang, Elvie Sukesih, ... yah pokoknya banyaklah!”
Wiwid tertawa. “Sing
bener, Bulik. Yang disebutin tadi penyanyi perseorangan bukan grup!”
Kesi kemudian berinisiatif
memperdengarkan lagu.
“Ooo … itu yang nyanyikan mereka, ya?” Suharti
manggut-manggut.
“Yaiyalah, Bulik!”
Suharti masih manggut-manggut.
”Oo…gitu to …? Habis ... Bulik
sih nggak ngikuti perkembangan. Kowe tau sendiri Mbak Wiwid, aku ini
sibuk ngurusi Paklik-mu. Soalnya, sakitnya makin lama makin parah. Jadi harap
maklum aku ini nggak ngerti perkembangan lagu-lagu.”
“Nggih. Yah, nggak
apa-apalah, Bulik.”
“Kecuali kalo Sinetron, kowe
jangan cerita, Mbak Wiwid,” tukas Suharti kemudian mantap. “Kalo sinetron ... aku ini rajanya.”
“Nggih, Bulik.
Rajanya atau ratunya, Bulik?” Wiwid menyela.
Suharti mengerutkan kening.
“Maksudnya?”
“Raja kan sebutan untuk
laki, sementara ratu itu untuk perempuan. Bulik kan perempuan!”
Suharti tertawa sekilas.
”Owalah. Iya, ya, aku ini ratunya. Ratu yang nguasai sinetron-sinetron,
hehehe....”
Wiwid dan Kesi ikut
tertawa.
”Makanya, ayo mau
bicara judul sinetron apa. Aku gak bakalan kalah!” cetus Suharti yakin.
“Nggak, Bulik,” Wiwid yang
menggeleng. “Wiwid dan Kesi mau bicara konser
kampusnya Mas Pram aja.”
“Wah, pasti rame ya konsernya. Bulik kalo bisa diikutkan dong, Mbak Wiwid.’’
Wiwid menghela nafas. “Tapi
ini kan untuk yang muda-muda, Bulik. Namanya juga musik kampus.”
“Kan ada penyanyi ibukota.
Penyanyi ibukota kan nggak terbatas untuk yang muda-muda. Orangtua juga bisa
ikut. Setidaknya untuk orangtua yang berjiwa muda seperti aku ini.”
Wiwid senyum. Kesi juga.
”Barangkali aja Bulik bisa
foto dengan artis ibukota. Hasilnya bisa dipajang di ruang tamu … di sini!” ujar Suharti seraya menunjuk ke arah dinding.
Wiwid tertawa. “Bulik bisa
aja,” komentarnya singkat.
“Eh ... Mbak, kalo nggak
salah tadi katanya ada produsernya dari Jakarta ya!” tanya Suharti kemudian.
”Iya! Kenapa rupanya, Bulik?” Wiwid
tertarik.
“Bulik juga
punya keluarga yang kerja di bagian rekaman loh di Jakarta,” ujar Suharti
bersemangat.
“Oh ya?” Wiwid menatap serius.
“Nggih, Mbak Wid!”
Suharti mengangguk. “Bulik punya saudara. Om Rusdi namanya. Nggak tau apa sudah
ada peningkatan dia. Kalo karirnya bagus, mungkin sudah jadi produser dia
sekarang.”
“Yah ... mudah-mudahan
saja, Bulik!” ujar Kesi. Sementara itu, Wiwid malah
mencermati jam tangan. “Maaf ... Bulik ... wah sudah jam berapa ini? Sekali lagi maaf.”
“Kok buru-buru to,
Mbak?” ujar Suharti dengan ekspresi kecewa.
“Wah ... kami berdua udah
dari tadi, Bulik! Kami itu cuma mau ngajak Mbak Nuning nonton konser.
Sepertinya Nuning menolak. Katanya dia punya tanggungan menjagai Paklik Broto.
Padahal kita-kita ini ingin sekali loh
ditemani Nuning,” Kesi bicara hati-hati.
“Iya! Bapaknya itu memang
sakit-sakitan.”
“Maksud kami . . . apa
nggak bisa sesekali Nuning dibebaskan ngurusi Paklik Broto?” Wiwid bicara. ”Misalnya
Bulik sementara yang jagai Paklik.
Maksud Wiwid ... supaya dia bisa kami ajak nonton konser.”
“Wah . . . bagaimana, ya?”
Suharti seperti berpikir.
”Tolonglah, Bulik. Sekaliii
... aja.”
”Masalahnya yang sakit itu
kan bukan orangtuanya Bulik. Yang sakit itu bapaknya Nuning.”
Wiwid menautkan alis.
”Wajar to kalau dia
ngurusi bapaknya! Namanya anak harus berbakti kepada orangtua!” ungkap Suharti
tenang.
“Iya, ya, Bulik!” Wiwid mengangguk. Dia kembali melihat jamnya. Agaknya
dia menyadari, percuma memberi pengertian kepada Suharti. “Eh ... sudah sore.
Mungkin kami mau pamit aja, Bulik. Mbak
Nuning?” lanjutnya sembari melihat-lihat ke arah kamar.
“Paling menidurkan
Tutik. Kalaupun nggak itu ... tentu dia
nggak berani muncul ke mari. Soalnya dia selalu nggak bisa bicara kalau ada Bulik,”
ujar Suharti yakin.
* * *