Thursday, August 29, 2019

JANGAN MENANGIS, NUNING


Sang fajar mulai beringsut dari peraduan yang memagut. Kaki semunya perlahan menjejak. Mengisi hari dalam perjalanan panjang kehidupan. Dalam irama tak  berubah, dalam kala yang tak jua lelah.
Hembusan angin pun  menerabah dinding rumah.  Berpendar ke setiap celah.  Dingin begitu merasuk, tulang serasa tertusuk. 
Sesubuh itu, rasanya orang akan memilih lebur di debur dengkur. Dengan luncur nafas teratur. Setidaknya bersidekap  dengan guling dan kasur. Namun kiranya tak semua bernasib mujur.
Nuning, seorang kembang desa, termasuk salah satunya. Dia harus bangkit dari tempat tidur. Menebas rasa kantuk. Juga mengibas dingin yang menusuk. Dia harus menyiapkan sarapan. Menggodok ketela, itulah rutinitas yang dilakukan.
Terdengar senandung kecil dari celah bibir Nuning. Lebih merupakan bisikan. Suara begitu tertahan. Agaknya dia takut mengganggu yang lain.
Alunan suara bagai mengiringi tangan. Tangan begitu cekatan melakoni pekerjaan. Ada dua kemungkinan sebetulnya. Suara  mengiringi tangan atau malah tangan Nuning yang mengiringi senandung.
Kegiatan gadis mungil Dusun Banguntapan itu bangun sebegitu awal bukan hanya menyiapkan pengganjal perut. Dia juga harus merebus air untuk mandi bapaknya: Broto.  Dia tidak rela bapaknya yang menanggung berbagai penyakit itu mandi air dingin.
Kondisi orangtuanya itu memang telah payah. Penyakit yang diidapnya komplikasi dan kronis. Penyakit itu diderita telah cukup lama. Masuk dalam hitungan empat tahunan.
“Huk…huk…!” terdengar suara.
Nuning menghentikan senandung kecilnya. Dia bisa menangkap suara batuk bapaknya. Antara dapur dan kamar orangtuanya hanya dibatasi dinding tepas. Suara terdengar lepas.
Nuning bergegas ke kamar. Didapati bapaknya tidak lagi tergolek di dipan. Bapaknya itu tengah berupaya berjalan.  Tangannya memegang dinding untuk menyangga tubuh lemahnya.
“Aduh, Bapak. Mau ke belakang ya, Pak? Mau jalan kenapa tidak bilang Ning?” Nuning berkata dengan nada cemas. Refleks digapai tangan bapaknya.
“Ndak apa-apa kok, Nduk, … huk … huk …! Bapak mau mandi,” Broto bersuara lagi di sela batuk. Dia berupaya menenangkan putrinya.
Ndak apa-apa gimana, Pak? Kalo kondisi payah, mestinya Bapak panggil Ning!” cetus Nuning masih dengan nada kuatir. Dia tetap memegangi tangan bapaknya. Di kala itu Nuning masih sempat melirik ke arah Suharti. Posisinya tergolek di tempat tidur, tanpa rasa terganggu sedikit pun.
Suharti adalah ibutiri Nuning, pengganti almarhumah ibu kandungnya. Ibu kandung Nuning telah menghadap sang Khalik sekitar enam tahun lalu. Lalu Suharti muncul sebagai pengganti.
“Kalo sudah selesai mandi panggil Ning ya, Pak? Ning nggak mau terjadi apa-apa pada Bapak!” ujar Nuning mengingatkan saat-saat meninggalkan bapaknya di kamar mandi. Ketika itu air hangat sudah disiapkan di ember.
Nggih, Ning!” Broto mengangguk. Segera dia menutup kamar mandi. Seretan bagian bawah terdengar berderit. Pintu kamar mandi menyentuh tanah. Serasa tidak kuat menyangga daun pintu. Engselnya hanya terbuat dari tali rafia.
Nuning kemudian menuju tungku masak. Dipusatkannya pandangan ke arah periuk. Tutup periuk bergerak-gerak. Tanda isinya telah mendidih.
Nuning segera mengecilkan api. Jika saja suasana terang-benderang, akan terlihat rona wajah Nuning. Memerah terkena efek sinar api.  
Nuning mengangkat ketela dari dalam periuk. Lalu terdengar suara tangisan Tutik. Adiknya itu memanggil-manggil Nuning dari arah kamar. Posisinya di tempat tidur Nuning dan kedua adiknya.
Nuning meninggalkan periuk. Bergegas dia mendekati adiknya yang baru berumur empat tahun. Tutik adalah adik satu-satunya yang didapat dari ibu tirinya.
Adik Nuning bukan hanya Tutik. Nuning masih punya Arum. Setelah melahirkan Arum, ibu mereka terkena serangan kanker rahim. Untuk menyelamatkan nyawa, peranakannya harus diangkat. Sebagai konsekuensi, Nuning tidak bisa punya adik lagi dari ibu kandungnya itu.
Ketidakbisaan punya adik lagi dari ibu kandung kemudian menjadi abadi. Orangtua yang melahirkannya itu dipanggil sang Khalik. Ibunya tidak bertahan lama bergulat dengan kanker rahim. Penyakit kian hari kian ganas sampai maut menjemput.
Maka kemudian tinggallah Nuning dan Arum bersama bapak mereka. Sampai pada tahun berikutnya hadir Suharti, sang ibutiri, melengkapi anggota keluarga. Tidak ketinggalan Tutik pun lahir sebagai buah perkawinan bapaknya kedua kali.
Opo to, Tik? Pipis?” tanya Nuning dengan sabar setelah dekat dengan Tutik. Dia mengawasi celana Tutik dan tempat tidur. Tidak basah, berarti belum keluar.
Nuning sudah melatih adik bungsunya itu untuk tidak ngompol. Meski kadangkala gagal, Nuning masih bersyukur. Adiknya itu sering memberi tahu saat mau pipis.
Tutik merespon. Meski dalam posisi terbaring di tempat tidur, Nuning bisa melihat anggukan kepala adiknya. Tutik mengulurkan kedua tangan kepada Nuning.
Nuning segera menggendong Tutik. Dibawa adiknya itu keluar kamar.
Bersamaan dengan itu, bapaknya selesai mandi. Melihat itu, Nuning bersiap mau menurunkan Tutik. “Tik, kowe ke kamar mandi sendiri dulu, ya? Bisa kan? Mbak Ning mau nganter Bapak!”  ujar Nuning kepada Tutik.
“Nggak mau. Gendong…,” Tutik meronta. Dia kian mengetatkan dekapan di gendongan Nuning.
Agaknya Broto menyadari keadaan. “Wislah, Ning. Biar Bapak jalan sendiri aja. Bapak bisa kok!” Broto bicara dengan suara dibuat tenang. “Antarkan  aja Tutik.  Adikmu itu  masih kecil. Dia lebih perlu diperhatikan.”
Nuning semula bersikukuh agar dia bisa menolong bapaknya. Broto sudah lebih sigap menolak. Dia memberi isyarat dengan tangan. 
Nuning tidak punya pilihan. Dia mengikuti kata-kata bapaknya mengantarkan Tutik. Namun, disempatkannya juga mengingatkan bapaknya berhati-hati.
* * *
         Kondisi Broto memang payah. Untuk berjalan saja kadangkala perlu dituntun. Biarpun begitu, dia masih saja berusaha masuk kerja. Meski tidak jarang pula absen. 
Status sebagai pegawai kantor kecamatan telah mewajibkannya masuk kerja. Setidaknya orangtua itu harus memikirkan pekerjaan. Tidak masuk kerja berarti mengalihkan beban tugas kepada orang lain. Setiap pegawai memiliki tanggung jawab masing-masing.
Melihat kondisi kesehatan Broto, mestinya ia berhenti saja dari tempat kerja. Istirahat di rumah lebih baik daripada melakukan aktivitas berat. Untuk ukuran sakit yang diderita, masuk kantor telah masuk kategori melakukan kegiatan berat.
Broto merasa tidak punya pilihan. Dia tumpuan keluarga. Dia tidak mungkin minta pensiun dini. Gaji kecil plus potongan mencicil utang terasa begitu penting untuk menghidupi keluarga.
Berobat sebetulnya telah banyak dilakukan. Tidak hanya medis. Cara nonmedis seperti disarankan para tetangga telah ditempuh. Selain di wilayah Yogya, keluar kota pun dilakoni. Sudah puluhan pengobatan alternatif dicoba. Sejauh itu hasilnya masih nihil. Bukannya sembuh, penyakit Broto kian kambuh.
Tadinya keluarga Broto hidup relatif berkecukupan. Semula mereka tinggal di rumah cukup permanen. Keluarganya terbilang lumayan secara ekonomi. Bagi Nuning, semua masih terekam di benak. Kebercukupan mereka lebih  dilatari oleh peninggalan almarhum eyang-nya.
Bapaknya merupakan anak tunggal, mewarisi tanah peninggalan eyang. Eyang kakung Nuning sendiri mantan Carik Desa. Eyang meninggalkan sedikit warisan tanah bagi orangtua Nuning.
Tetapi kini, semua telah berlalu. Tempat sekarang mereka tinggali bukan rumah dulu. Dari lokasi, terletak tidak jauh dari rumah sebelumnya. Hanya saja, posisinya lebih masuk. Menjauh dari jalan besar desa. Rumah lama telah terjual sebagai penebus biaya berobat. Waktu berobat empat tahun lebih bukan waktu singkat. Selama waktu itu telah banyak biaya terkuras. Semua ludes.
Kondisi rumah sekarang sangat memprihatinkan. Berukuran kecil dan berada di gang sempit. Untungnya saat ini gang sempitnya belum terlalu terlihat. Tanah tetangga belum diisi bangunan. Terkesan rumah berpekarangan luas. Betapapun, masih untung mereka punya tempat berteduh. Meski bangunan hanya terbuat dari gedek bambu.
Di dalam rumah hampir tidak ada apa-apa. Barang berharga, hanya televisi. Itu pun karena ibutiri Nuning tidak mau menggadaikannya.
Berdasarkan keadaan, benda elektronik itu mestinya sudah melayang. Ibu tiri Nuning punya kebiasaan berat nonton Sinetron. Maka meski utang melilit pinggang, benda keramat itu belum melayang.
Sebetulnya, masih ada benda elektronik lain. Tapi tidak layak untuk disebutkan. Masalahnya, benda elektronik itu hanyalah berupa radio kecil tua. Saking tuanya tidak punya nilai jual lagi. Andai punya nilai jual, mungkin benda itu sudah lenyap juga.
Radio itu merupakan peninggalan Broto yang dulu biasa digunakan di kantor. Kini benda itu kerap menemani Nuning.
Saat-saat tertentu, Nuning menyediakan waktu untuk mendengarkan lagu-lagu. Biasanya dipilihkan ketika tanggungan pekerjaan sudah selesai. Tentu saja dia harus mencermati waktu, supaya tidak terkena teguran ibu tirinya.
Sementara itu, Suharti tidak tertarik dengan radio. Benda elektronik yang memang sudah tua itu terasa begitu usang. Televisi dan tayangan sinetron jauh lebih menarik baginya.
Kadangkala Suharti peduli juga pada radio Nuning. Kepeduliannya lebih karena  terganggu akan suaranya. Merasa terusik karena dianggap berisik. Nuning biasa mengatasinya dengan cara menempelkan radio ke telinga. Volume suara dibuat kecil.
Kepedulian lain Suharti terhadap radio adalah pada persoalan mengganti batere. Ganti batere meski kecil perlu biaya. Tetapi Broto, punya kiat  mengatasinya. Dia tau putrinya itu punya hobi kuat mendengar musik. Maka dia berupaya memperjuangkannya. 
Broto tidak pernah mengganggu gugat gaji. Lelaki itu selalu berdalih batere baru berasal dari inventaris kantor. Sehingga Suharti tidak punya alasan untuk protes. Tapi begitulah, toh Nuning harus berhati-hati saat mendengarkan radio. Supaya jangan timbul masalah.
* * *
Seperti biasa, pagi hari Nuning telah berada di depan rumah. Dia bersiap-siap melepas kepergian bapaknya ke kantor. Arum dan Tutik ikut menemani.
“Bapak pergi dulu ya, Ning! Baik-baik di rumah ...,” Broto berpamitan, ”jangan lupa adik-adikmu dijaga,” lanjutnya berpesan.
“Iya, Pak, hati-hati di jalan,” Nuning menjawab sembari mengangguk. Segera dia  mendekati Broto. Diraih tangan bapaknya dan dicium dengan rasa hormat. Arum dan Tutik mengikuti.
Broto kemudian berjalan ke arah sepeda tersandar di depan rumah.
Saat-saat bapaknya telah menuntun sepeda, Nuning kembali mengingatkan agar berhati-hati. Nuning memang selalu merasa cemas melihat bapaknya.
Broto mengiyakan seraya mulai bergerak dengan sepeda tuanya.
Kini bapak Nuning hanya bersepeda. Sepeda motor yang dulu pernah mereka punyai sudah ikut tergadai.
“Nuniiing…!” terdengar panggilan. Cukup keras. Siapa lagi kalau bukan suara ibunya. Nuning sontak bergerak. Digamitnya tangan Arum dan Tutik.
Dalem, Bu!” ujar Nuning setelah dekat. Dia tidak berani menatap wajah ibunya.
“Ini piring kenapa dibiarin? Lalu Adik-adikmu itu ... masih belepotan!” tegur Suharti dengan wajah kusut.
Nggih, Bu. Baru aja nganter Bapak berangkat,” Nuning menyahut.
“Nganter ke mana? Nganter ke ujung langit, gitu? Sekalian aja anter ke neraka!”
Nuning cepat menggeleng. “Mboten, Bu. Nganter di depan rumah.”
“Apa ya bapakmu nggak bisa pergi sendiri? Maksudku apa ada gunanya kowe pakek  nganter-anter kepergian bapakmu?” seru Suharti.
Nuning tidak menyahut. Dia lebih memilih membereskan piring-piring.
“Kerjaan jangan ditumpuk-tumpuk! Jangan maunya berleha-leha,” Suharti masih berkoar.
Nggih, Bu.”
“Kayak anak orang seneng aja, kowe.”
Beberapa saat kemudian Nuning terlihat sibuk dengan pekerjaan. Namun di sela itu, terlihat mata Nuning berkaca-kaca. Anak itu mengenang ibunda kandungnya almarhumah.
Nuning terngiang pesan ibunya di ujung nafas. ”Semua yang terjadi tidak ada tanpa  sepengetahuan Tuhan. Tidak terkecuali juga semua penderitaan yang kita hadapi. Semua ada hikmahnya. Kita harus sabar menerima rencana Tuhan, sambil memahami hikmah di balik semua itu.”
”Tapi Ning gak mau terjadi apa-apa. Ning gak mau Mama pergi ninggalin Ning!” ujar Nuning ketika itu sambil terisak. Dia memegangi tangan ibunya erat-erat. Saat itu ibunya terbaring di tempat tidur rumah sakit.
”Mama juga ... gak mau ninggalin kamu, Arum, dan ... juga keluarga kita semua,” mamanya bicara susah payah. ”Apa pun yang terjadi, kita pasrah kepada Yang Kuasa. Kamu jagai adikmu Arum ya...!”
Hikmah seperti apakah yang harus dimaknai. Betapa berat penderitaan yang dialami Nuning setelah mamanya pergi. Apakah Nuning harus menerima begitu saja perlakuan tidak adil ibutirinya selama ini? Nuning bermain dengan pikiran. Wajah almarhumah memenuhi benak.
* * *
Keluarga Broto baru saja selesai makan malam saat terdengar suara ketukan di pintu. Seiring dengan itu terdengar ucapan, ”Kulonuwuun!” Ketika itu Nuning sedang membereskan piring-piring bekas makan. Keluarganya masih duduk-duduk di tikar, tempat mereka biasa makan.
Manggaaa ...! Silakan masuk, pintu gak dikunci,” Broto menyahut setengah berteriak. ”Coba dilihat siapa yang datang, Ning!”  ujar Broto kemudian kepada Nuning.  
Nggih, Pak,” Nuning menyahut singkat. Cepat-cepat diangkatnya piring-piring kotor.  
Segera di pintu terlihat Parjan, Kepala Dusun. Dia tidak sendiri. Turut pula Andika, Ketua Karangtaruna.
Kulonuwun Pak Broto, Bu Broto! Met malam!” Parjan memberi salam kembali seraya melangkah masuk. Diikuti Andika. ”Maaf mengganggu. Baru makan rupanya,” lanjut Parjan.
Mangga ... mangga Pak Kadus! Mas Andika! Iya baru makan. Tapi sudah selesai kok,” Broto menyambut hangat seraya bangkit berdiri. Agak susah payah. Nuning sigap  membantu.
”Silakan duduk. Tapi maaf, hati-hati aja, kursi tamunya dah banyak yang rusak!” lanjut Broto setelah dalam posisi berdiri. Seiring dengan itu ia mendekati tamu dan menyalami keduanya.
Suharti juga menyusul. ”Tumben ini Pak Kadus dan Mas Andika,” Suharti bersuara. Dia ikut menyalami Parjan dan Andika.
“Yah … kayaknya memang begitu, Bu Broto. Mestinya selaku Kadus saya bisa mendatangi rumah-rumah warga. Supaya mengetahui kondisinya, termasuk ke rumah ini. Biar nggak tumben lagi ya, Bu,” Parjan menjawab kalem seraya duduk di kursi.
“Wah, Pak Kadus bisa aja. Toh kita sering juga ketemu di kantor Kecamatan,” Broto cepat-cepat menukas. “Istri saya tadi itu sebetulnya cuma mau bilang sugeng rawuh, selamat datang, dan apa kabar. Tumben ini dengan Mas Andika segala?” lanjut Broto ramah seraya menganggukkan kepala ke arah Andika.
   Parjan tersenyum. “Ya, kabarnya baik, Pak Broto dan juga Ibu. Begitu juga Mas Andika kan?” jawab Parjan seraya melibatkan Andika.
Andika mengiyakan.
“Bapak sendiri bagaimana kondisinya? Sudah baikan?” sambung Parjan sembari mengamati fisik Broto.  
Broto menghela nafas. ”Yah … entahlah, Pak Kadus. Dibilang baik ya…baik. Tapi dibilang sakit ya …juga sakit.”
“Saya melihat Bapak masih terus masuk kantor,” Parjan menukas.
“Ya ... sering-sering tidak masuk juga, Pak. Mau bagaimana lagi. Kondisi saya memang payah.”
Parjan dan Andika manggut-manggut.
“Kalau melihat kondisi, mestinya saya ini istirahat saja di rumah,” Broto kembali melanjutkan. “Tapi bagaimanapun, saya berusaha masuk kerja. Tidak enak saya mangkir terus.”
Parjan sekilas mendesah, baru kemudian bersuara,“Saya kira teman-teman di kantor tentu maklum keadaan Bapak. Eee ... maksud saya ... saya tau, teman-teman di kantor paham kok pada kondisi Pak Broto!”
“Tetapi masalahnya bukan hanya itu, Pak Kadus!” Broto terlihat menggelengkan kepala.
“Maksud Pak Broto?” Parjan mengernyitkan dahi. Andika mengangguk, tanda ia mendukung pertanyaan Parjan.
“Kalau saya tidak masuk kerja, kasihan yang di rumah,”  Broto menjelaskan. “Mereka akan cemas terus. Saya tidak tega. Jika saya tidak masuk kantor, mereka  mengartikan kondisi saya makin parah. Makanya, saya berusaha masuk kantor,” lanjut Broto.
Parjan terdiam. Agaknya dia bisa memahami Broto tetap berusaha masuk kantor.
Nuning datang membawa minuman. Hening sesaat.
”Nah ini ada Mbak Nuning. Saya kira pas untuk menyampaikan maksud kedatangan kami!” Parjan buka suara di sela-sela Nuning menyuguhkan minuman.
“Eee…nggih, Pak Kadus,“ Nuning bicara agak kikuk. Dia terlihat kaget karena namanya disebut. Sebenarnya wajah Nuning memerah. Hanya saja perubahan rona wajahnya tidak jelas terlihat karena  tertolong sorot lampu watt rendah.
Nuning memang agak gugup. Apalagi yang membuatnya begitu kalau bukan kehadiran pemuda bersama Parjan. Selama ini Nuning diam-diam memang mengagumi pemuda yang tinggal satu dusun dengannya itu.
“Kedatangan Pak Kadus ada hubungannya dengan Nuning?” Broto tertarik.
Parjan mengangguk. “Nah, Mbak Nuning tolong di sini dulu!” Parjan menahan Nuning yang bersiap akan ke belakang.
”Ada apa sih, Pak Parjan?” Suharti terlihat tidak sabar.
Parjan tidak langsung menjawab. Dia malah melirik ke arah Andika. Agaknya dia memberi isyarat agar Andika buka suara.
Karena merasa diberi kesempatan, Andika segera bicara,”Begini, Pak Broto, Bu Broto, dan Mbak Nuning. Kedatangan kami sebetulnya mau minta izin supaya Mbak Nuning bisa bergabung dengan tim nyanyi dusun kita!”
“Minta izin bergabung dengan tim nyanyi?” Broto juga tidak sabar. Sementara Nuning terlihat gelisah dengan baki di tangan. Pada saat sama Tutik muncul ke dekat Nuning.
”Iya. Bergabung dengan tim nyanyi keroncong!” Parjan menjelaskan. ”Seperti biasanya Desa kita tetap ngadain malam pentas seni. Memeriahkan perayaan tujuh belasan.”
“Ooo…itu to yang dimaksud. Jadi Mbak Nuning mau diikutkan grup  nyanyi?” Broto menukas sambil manggut-manggut.
”Kok bisa sih? Apa Pak Kadus gak salah orang? Memang nyanyinya asal-asalan?”  tanya Suharti dengan ekspresi penasaran. ”Ya dah Ning kowe bawa adikmu Tutik ke belakang!” lanjut Suharti memerintah Nuning. Terlihat Tutik mau menyentuh minuman tamu.
Nuning cepat mengangguk seraya berpamitan ke belakang.
”Pak Kadus apa gak keliru. Bisa apa si Nuning dalam hal menyanyi. Apalagi ini untuk dipentaskan! Jangan bikin rusak acara nanti!” Suharti  menukas lagi. Sangat kentara dia penasaran.
Parjan mengangguk sekilas sambil tersenyum. ”Mungkin gak salah, Bu Broto. Selain dari istri saya sendiri, ini usulan dari semua anggota kelompok keroncong. Maksud saya, ini permintaan dan keputusan bersama.”
”Lha kok bisa?” kejar Suharti.
”Saya tidak tahu apa Pak Broto tidak pernah cerita. Eyang putri Nuning dulu pendiri kelompok keroncong Desa sekaligus penyanyi inti. Lalu almarhumah ibu kandung Mbak Nuning juga penyanyi!” Parjan bicara nada datar. ”Ibu Nuning dan mertuanya yaitu ibu kandung Pak Broto merupakan duet kawakan semasa hidup!”
”Lalu hubungannya dengan Nuning?”
 ”Ya dia itu bagus suaranya.”
Suharti sempat ngakak. ”Waduh, apa gak salah nih? Tau bagus dari mana? Mana bisa nyanyi si Nuning!”
”Ya didengar dulu penjelasan Pak Kadus, Bu!” Broto menyela.
”Ah, Bapak ini, wong aku bicara ke Pak Kadus!” Suharti protes. Sorot matanya tidak senang kepada Broto.
”Begini, Bu Broto!” Parjan cepat mengambil alih. ”Dulu waktu masih hidup, Eyang Putri dan mamanya Nuning sering membawa Nuning saat latihan dan pentas! Nuning bahkan dilatih juga nyanyi!”
”Bukannya Nuning masih kecil waktu itu?”
Parjan mengangguk. “Betul, dia masih kecil. Di situ kita tahu suaranya bagus dan punya bakat nyanyi. Sayangnya Eyang Putri dan mama Nuning terlalu cepat pergi. Setelahnya Nuning gak pernah bergabung lagi!”
”Yah, saya gak kepikiran mau nganter-nganter Nuning ikut kelompok nyanyi!” Broto menyela.
Sekilas Suharti menghela nafas. ”Oke. Sekarang saya ikuti aja. Katakanlah dulu bagus. Tapi itu kan dulu. Udah selang berapa tahun itu. Pasti udah ada perubahan!” ujar Suharti kemudian.
”Benar, Bu Broto!” Parjan mengangguk lagi. ”Dulu sudah ketauan bagus. Tapi kita tetap yakin suara Mba Nuning tetap bagus. Malah mungkin makin bagus sekarang!”
”Waduh, ngawur banget! Bisa naik kuping si Nuning dibilang suaranya bagus!” Suharti bicara sambil melengos. “Apa bagusnya suara Nuning. Ada-ada aja.”
“Mungkin faktor keturunan, Bu Broto. Eyang dan ibunya bersuara emas, maka suara Nuning juga apik!” Andika ikut bersuara. ”Mungkin kalo ikut acara Indonesian Idol atau kontes nyanyi di tivi bakal bisa menang!
Suharti ngakak sekilas. “Mas Andika tau apa tentang suara. Mas Andika itu cuma ketua karangtaruna. Kerjanya ngurus anak muda gotong royong atau kumpul-kumpul. Nggak ada hubungan sama urusan tarik suara. Jadi dipersori  aku nggak percaya!” tukasnya.
“Ya sudahlah, Bu!” Broto menengahi. “Mas Andika juga kan cuma kasih semangat.”
Suharti mencibir. “Semangat sih semangat. Tapi mosok wong ndeso disejajarkan sama yang di tivi. Jelas nggak pantes. Tivi itu tingkat nasional. Yang tampil di  tivi pasti sudah pilihan. Tidak ngawur koyo anakmu itu.”
“Iya, Bu Broto. Mas Andika juga ya kebangetan. Mosok ya Mbak Nuning disejajarkan dengan yang di tivi. Rasanya ya kurang pas. Tidak sebanding,” Parjan berkomentar.
Andika terlihat kikuk.
“Sekarang bagaimana, Pak Broto dan Ibu ...?” Parjan bersuara lagi. ”Tolong supaya  Mbak Nuning boleh ikut ya? Latihannya hanya sebulan ini. Seminggunya paling banyak dua kali. Di rumah saya nanti latihannya!”
“Kalau saya ya terserah Ibunya wae….!” Broto segera memberi pendapat. “Syukur-syukur dibolehkan.”
“Aku itu bukan soal boleh gak boleh. Tapi rasanya lucu. Gak ada angin gak ada ujan kok tiba-tiba aja Nuning dibilang suaranya bagus. Mau ikut pentas seni lagi!” Suharti masih penasaran.
“Ya udah, Bu. Minta izinnya aja. Ini udah keputusan kelompok nyanyi. Kita ingin acara perayaan tujuh belasan meriah!” Parjan bicara lebih tegas.
“Tapi apa ya masih perlu acara-acara Tujuh Belasan?” Suharti  malah beralih ke soal lain.
“Maksud Ibu?” Parjan terlihat kaget. Dia menautkan alis. Kentara kalau dia tidak mengerti arah ucapan Suharti.
“Untuk apa acara-acara Tujuh Belasan? Kondisinya sekarang ini toh makin payah. Reformasi udah bangkotan… tapi kok ya nggak ada perubahan. Malah nglelokro,”  Suharti menukas.
“Wah, kan sudah banyak perubahan, Bu!” Parjan menampik. “Lihat saja sekarang kita sudah makin bebas milih. Partai lebih banyak pilihan.”
Kebanyakan partai malah ribet. Lalu ekonomi juga makin susah. Harga-harga mahal. Biaya listrik mahal. Bensin mahal!”
”Memangnya Ibu beli bensin di mana?” sindir Broto.
”Salahnya ... aku nggak dibelikan mobil!” jawab Suharti taktis.
“Ya  wis … Bu. Nggak usah ngalor ngidul. Pak Kadus itu cuma  mau nanya kita. Mbak Nuning dibolehi  ikut latihan nyanyi apa gak. Itu aja yang dijawab!” Broto mengingatkan.
“Iya, Bu…,” Parjan mengangguk. “Mestinya boleh to ya, Bu. “Mbak Nuning betul-betul kita perlukan kehadirannya melengkapi tim. Beberapa yang lain sudah kita hubungi juga. Termasuk Mbak Wiwid. Tetangga sebelah!”
Oo putrinya Pak Jupri?”
”Iya, kita ingin tahun ini mendorong yang muda-muda ikut tampil!”
”Yang muda-muda? Pantesan Nuning masuk hitungan!” Suharti manggut-manggut.
”Ya ada rencana tampilan musik dibuat kreatif dan inovatif. Dengan iringan gitar segala.”
”Apa iya?”
“Makanya Mbak Nuning  boleh ya diikutkan?” Parjan kembali menagih soal perizinan.
Suharti menghela nafas. “Aku sih boleh aja. Mungkin persoalannya malah bapak Nuning!”
”Maksudnya?” Parjan mengerutkan kening.
Sing punya gawean kan bapaknya Nuning,” ujar Suharti seraya mengarahkan pandangan lurus kepada Broto. ”Piye Pak. Kalo anakmu pergi latihan, apa Bapak gak masalah. Jangan nanti aku yang disalahkan.  Masalahnya yang sakit itu kan ya awakmu, Pak.
“Ya, mungkin selama Mbak Nuning dalam kegiatan latihan, supaya Ibulah yang ngurusi Pak Broto!” pinta  Parjan dengan hati-hati. Lembut suaranya.
“Biasanya saya ya ngurus bapaknya anak-anak. Yang bilang nggak ngurus siapa? Pak Kadus ono-ono wae. Apa ada istri yang nggak peduli sama suami. Nggak mungkin kan?” Suharti  bicara setengah sewot.
Parjan menghela nafas.
“Cuma masalahnya, Pak Kadus … bapaknya anak-anak aja yang sering merasa nggak lengkap kalo Nuning nggak ikut bantuin. Apa-apa harus Nuning. Kesannya seolah-olah saya ini nggak melakukan apa-apa.”
Nggih, Bu…,” Parjan kembali mengangguk. “Berarti Ibu boleh ya? Soalnya Pak Broto sudah boleh tadi. Ya, maturnuwun  kalo gitu,” ujar Parjan  lagi dengan perasaan lega.
“Tapi teringatnya ada uang lelahnya untuk Nuning gak, Pak Kadus? Apalagi tau sendiri, bapaknya Nuning ini kan sakit. Perlu biaya banyak.”
“Duh, Ibu ini bicara apa sih?” Broto protes.
“Lha kan wajar to? Pasti adalah kucuran dana dari kelurahan untuk tiap-tiap kegiatan. Setidaknya dari sumbangan warga!” Suharti tak kalah sengit.
Broto terlihat geleng-geleng kepala. Tatapannya lurus tertuju kepada Suharti.
  “Ya nanti diusahakan, Bu Broto. Tapi tentu alakadarnya aja. Yang penting kita bisa berpartisipasi dalam peringatan Hari Kemerdekaan!” Parjan bicara. “Ya dah, nanti saat latihan biar Mbak Nuning dijemput Andika!”
“Ya makasih!” Broto cepat menukas.
“Tapi kan ada Mbak Wiwid, barangkali biar Nuning bareng Mbak Wiwid aja!”
“Ya tadi ini ketua karang taruna dah bilang sanggup jemput Mbak Nuning!” Parjan bicara sambil menunjuk Andika.
“Ya setidaknya kita ingin anggota penyanyi tidak kerepotan berangkat latihan!” Andika memberi penjelasan.
“Ya, biar ketua karangtaruna punya gawean,” Parjan bicara sambil tersenyum.
Andika tergelak.
*  *  *
Waktu hampir menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Saat itu Nuning sudah bersiap-siap. Ini merupakan kegiatan latihan nyanyi pertama yang akan diikuti.
Nuning sengaja cepat-cepat membereskan pekerjaan. Dia tidak ingin ada pekerjaan belum tertangani. Sesaat lagi Andika akan datang menjemput. Jangan sampai pemuda itu menunggu-nunggu. Lebih dari itu, supaya ibunya tidak rewel. Dimarahi ibunya di hadapan Andika,  terasa menakutkan bagi Nuning.
Sampai beberapa saat, Andika belum muncul juga. Nuning mengajak adiknya ke bagian belakang. Dia tetap dalam tugas menjagai adik-adiknya.
Sambil menunggu, Nuning mencoba-coba suara. Suara Nuning tidak terlalu keras sebetulnya. Tetapi kelihatannya telah mengusik Suharti.
Kowe mau nyanyi Tujuh Belasan aja perasaan seperti artis. Ndadak pake latihan dulu di rumah,” Suharti menyindir Nuning dari ruang depan. Setengah berteriak.
Mendengar sindiran ibunya, Nuning segera menghentikan suara.
“Mentang-mentang dipuji Pak Kadus dan Mas Andika, kowe jadi besar kepala.  Opo kowe nganggap suaramu apik benaran, ya? Ya dah jadi artis ibukota sekalian.”
Nuning menghela nafas.
Nek apik mending. Ini kayak suara piring pecah,” Suharti kembali berkoar. “Ngerti piring pecah? Bisa ngagetkan dan bikin luka. Ngerti kowe?”
Nggih, Bu!” Nuning cepat menyahut.
”Kupingku ini mau pecah. Budeg opo aku …?”
Wislah, Bu!” Broto menyela. “Nuning kan cuma nyanyi. Kowe …  begitu saja dipermasalahkan.”
“Anakmu kae loh, Pak. Perasaannya kayak artis ibukota. Perasaan aja sih. Suaranya? Bubrah gak karu-karuan.” 
Broto mendesah. “Owalah, Bu. Nuning mungkin cuma latihan supaya nanti lancar nyanyi.”
Suharti kelihatan tidak terima. “Yo, wis, Ning. Kowe latihan terus. Biar tak dengerin. Mumpung bapakmu nyeporterin kowe. Aku gak usah nonton tivi!” ujarnya sembari mematikan televisi.
Suasana kemudian hening.
Agaknya Broto mengerti keadaan, dia tidak berkomentar lagi.
Nuning sendiri mana berani dia  bersuara. Dia lebih memilih merapatkan pelukan kepada adik-adiknya. Sekalian supaya adik-adiknya tidak melakukan hal-hal yang memperkeruh suasana.
“Hmh, dasar gombal. Artisnya disuruh nyanyi malah mingkem!” Suharti kemudian berkata penuh tekanan. Dia  menghidupkan televisi kembali. “Penyanyi ndeso yang kebetulan asal comot aja kebanyakan gaya.”
Nuning tetap diam. Broto juga.
“Sudah jam berapa ini? Kok kowe belum berangkat juga?” Suara ibunya terdengar lagi.
Nuning merespon kata-kata ibunya. Dia beranjak ke depan dan melihat-lihat ke arah luar. Belum ada tanda-tanda Andika akan datang. “Mas Andika belum rawuh, Bu!” Nuning berkata kemudian.
“Sebelum berangkat, sudah dicek semua kerjaan. Sudah beres belum?” ibunya berkata lagi. Wajahnya kelihatan tidak senang. 
Nuning merasa, ibunya itu mulai cari-cari kesalahan. “Nggih, Bu. Tadi sudah Ning bereskan, tapi Ning cek lagi.”
Hayeh …hayeh, hmh, dari tadi tapi baru ngecek sekarang?” Suharti memelototi Nuning.
Nuning tidak mau ambil risiko. Nggih, Bu,” ujarnya sambil segera melakukan pengecekan. Melihat-lihat.
Suharti geleng-geleng kepala.
Nuning terlihat mondar-mandir.
Perbuatannya itu mungkin  dianggap berlebihan. Suharti kumat lagi. “Ada apa to, kowe kok mondar-mandir. Koyo setrikaan?”
Anu, Bu. Ning itu ngelihat Mas Andika, barangkali aja udah datang!” jawab Nuning.
“Kalo udah datang bakal ketahuan. Jemputnya kan naik motor. Pasti kedengaran suara motornya!”
Nuning menghela nafas.
”Mungkin Mas Andika itu gak beres. Katanya mau jemput ternyata bohong!” Suharti bicara ketus. ”Ya dah kamu ke tempat Mbak Wiwid aja sono!”
“Ya, nunggu bentar aja dulu, Bu. Mas Andika kan sudah janji mau datang. Mungkin ada halangan dikit!” Broto mengingatkan.
”Anak muda zaman sekarang memang gak bisa dipegang omongannya!”
”Waduh, kok langsung berkesimpulan gitu, Bu...!”
Pembicaraan terhenti. Suara sepeda motor terdengar makin dekat. Bahkan sampai ke depan rumah.
         Sejurus kemudian terdengar suara Andika, “Kulonuwuun...!” Diikuti kemunculan sosoknya.
         Monggo, Mas Andika!” Broto menjawab dengan suara dibuat nyaring.
Nggih, Pak Broto, Bu Broto. Maaf, saya terlambat. Tadi motornya mogok. Nyatanya busimya kotor!” Andika memberi penjelasan.
Ndak apa-apa terlambat, Mas. Malahane, artisnya di rumah ini sempat latihan nyanyi tadi,” Suharti bersuara sambil mengangguk ke arah Andika.
Mendengar sindiran ibunya, wajah Nuning memerah. Sementara itu, Andika hanya menautkan alis.
”Ya dah sana pergi latihan, nanti terlambat!” Broto menukas.
“Nggih, Pak Broto, Bu Broto. Saya pamit dulu dengan Nuning!” ujar Andika sambil mengangguk. Dia bahkan membungkukkan badan sedikit.
Nuning segera menghampiri bapaknya. Diraihnya tangan Broto. “Nuning pamit, ya Pak…,” ujarnya sembari mencium tangan bapaknya.
Broto mengangguk sambil menepuk-nepuk pundak Nuning. “Hati-hati, nanti kalau sudah pulang, langsung saja. Pintu nggak dikunci,” ujarnya lembut.
Broto sengaja mengingatkan itu supaya saat kembali tidak timbul masalah.  Dia tahu istrinya tentu malas membukakan pintu. Dan kalaupun mau, ujung-ujungnya akan marah-marah. Sementara dirinya, jika sudah agak larut malam biasanya sudah terlelap.
Setelah kepada bapaknya, Nuning beranjak menuju Suharti. Mau pamitan. Tetapi nyatanya bukan perlakuan manis yang diterimanya.
“Sudah … sudah. Pergi sana. Nggak sudi aku melihat orang yang berpura-pura sopan!” cetus Suharti ketus.
Nuning menghela nafas berat. Malu dia terlihat Andika. “Ya sudah. Nuning pamit ya, Bu!” ucap Nuning tanpa meraih tangan Suharti untuk dicium.
* * *
Mestinya Nuning senang berada di boncengan Andika. Kejadian memalukan di rumah tengah menggayuti pikiran Nuning.
         Jika jujur, rasa malu Nuning tidak hanya itu. Status putus sekolah juga merasuki benaknya. Dia merasa tidak pantas berdekatan dengan Andika.
         Saat ini Nuning sudah tidak bersekolah. Siapa lagi biangnya kalau bukan Suharti. Ibu tirinya itu memaksa Nuning berhenti sekolah. Alasannya, bapak Nuning butuh biaya berobat maupun perhatian Nuning dalam merawat. Kodrat Nuning sebagai wanita yang bakal menjadi ibu rumah tangga juga jadi alasan Suharti. Pendapat Broto dan juga saran para tetangga tidak membuat Suharti bergeming. 
         “Ning...! Mbak Nuning ...!” Terdengar Andika memanggil.
Nuning tersentak. “He...eh. Iya, Mas Andika!” Nuning menyahut. Agak gugup. 
”Mbak Nuning!” Andika bersuara lagi.
Nuning tersadar. Suara deru sepeda motor terdengar mengganggu.  
“Ada apa, Mas?” ujar Nuning dengan volume lebih keras.
“Dari tadi kamu kenapa diam aja sih, Ning?” Andika bicara dengan badan sedikit terarah ke samping.
Nuning tidak langsung menjawab. Dicobanya mencari kata-kata tepat. “Habis ... Mas Dika sendiri dari tadi juga diam!” ujarnya kemudian.
“Apa?” Andika berteriak.
“Mas Andika sendiri juga dari tadi diam aja!” ulang Nuning kian menambah volume suara.
“Udah tau!” Andika kembali berteriak. Dia tergelak di ujung ucapan.
Merasa dipermainkan, Nuning memukul pundak Andika. “Mas Dika jahat. Ternyata udah denger tadi!” ujar Nuning.
         Setibanya di rumah Parjan, Nuning kian merasa minder. Gelisah dia.
Andika memperhatikan langkah Nuning. Dia mengerutkan kening.  “Ayo Ning. Kenapa?” tanya Andika. Pemuda tanggung itu agaknya menangkap keraguan langkah Nuning.
Nuning tidak langsung menjawab. Ditatapnya Andika sekilas. Terdengar desahan nafas. Terasa berat.
“Ada apa?” Andika mendekati Nuning. Ditatapnya gadis itu lekat-lekat.
Nuning kembali mendesah. “Nuning malu, Mas!” sahut Nuning berterus terang. Suaranya pelan. Kepala ditundukkan.
Andika menautkan alis. “Kenapa malu, Ning? Suara kamu bagus! Perlu untuk memperkuat tim,”
Nuning menggeleng. “Nuning kan pengangguran. Tidak sekolah lagi seperti Mas Dika dan yang lainnya...,” ucap Nuning dengan suara lemah. Dihelanya nafas dalam-dalam. Sebenarnya dia merasa berat mengungkapkan suara hatinya. Antara berat dan malu.
Andika baru saja mau memberikan komentar ketika tiba-tiba Parjan muncul.
“Hei! Kalian berdua mengapa tidak masuk. Yang lain sudah di dalam semua!” Parjan bicara setengah berteriak. Tangannya dilambaikan, tanda mengajak masuk ke rumah.
Nggih, Pak Kadus. Kulonuwun … ,” Nuning menyahut seraya melangkah ke arah Parjan. Andika juga melakukan hal sama. Seiring dengan itu mereka menyalami tangan Parjan.
Nuning dan Andika segera masuk. Mereka langsung disambut yang lain-lainnya. Ada kelompok tua dan muda.
”Maaf ... maaf semuanya, Bapak dan Ibu, juga teman-teman. Kami telat karena motornya sempat mogok tadi sebelum menjemput Mbak Nuning,” Andika langsung memberi pengakuan. Disalaminya semua. Nuning mengikuti.
Wis ... ora popo,” Tukiran memberikan komentar. ”Telat bukan karna motor mogok juga ya gak apa-apa.”
”Maksud elo?” Andika mendelik.
”Lha kalian berduaan. Bisa aja kan ngorol dulu! Katakanlah ngobrol di sebuah taman. Jadinya telat,” Tukiran bicara enteng. Semua tertawa.
Diledek begitu, Nuning menjadi tersipu-sipu.
“Diam berarti nggih,” timpal Tika. Menambah suasana kian ramai.
Wis … wis …! Sesama bis kota dilarang saling mendahului!” Parjan langsung melerai.
“Maksud Pak Kadus?” Tukiran bertanya dengan ekspresi penasaran. Penasaran yang dibuat-buat sebetulnya.
“Uh ... dasar payah! Mas Tukiran memang kompor!” Wiwid mengejek Tukiran sambil bercanda.
Tukiran kembali mantuk-mantuk. Tanpa rasa berdosa, diliriknya Nuning. Nuning memang menjadi sasaran tembaknya. Tentu saja yang lain tertawa melihat tingkahnya itu.
Sementara Nuning terlihat gelisah dan kikuk. Untung saja kelompok tua seperti Bu Parjan, Mbah Sarko, dan Bu Parni kemudian menyelamatkan Nuning.  Mereka mengajak Nuning ngobrol. Bagi Nuning, dia seperti bernostalgia. Terkenang semasa kecil dengan eyang putri ataupun almarhum mamanya kumpul bersama kelompok keroncong.
* * *
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Lewat beberapa menit. Saat itu terlihat kegiatan latihan sudah berakhir. Pada umumnya anggota kelompok nyanyi  terlibat kegiatan ngobrol. Hanya saja terlihat berkelompok antara tua dan muda.
“Wah ... kayaknya hanya sekali latihan saja sudah cukup kita ini ...!” terdengar komentar Ambar  dalam kelompok muda. “Sepertinya sudah mantep tadi.”
“Belum ...!” Andika menanggapi. “Aku nggak setuju dibilang sudah mantep.”
Semua jadi terdiam.
”Soal kata-katanya memang sudah lumayan hafal. Bagaimana tidak hafal wong lagunya dah umum. Tapi ... dalam soal masuknya. Itu loh, terutama setelah intro, kayaknya belum kompak,” lanjutnya dengan mimik serius.
 “Padahal aku sudah jelas membuat intro dan tempo iringan!” Tukiran menambahkan. Di kala itu tangannya masih mengempit gitar.
“Namanya juga masih latihan pertama!” Wiwid berkomentar.
“Justru itu!” sambut Andika.
“Maksud Mas Andika?” tanya Ambar penasaran.
Andika memperbaiki cara duduk. “Justru karena ini masih latihan pertama, maka harus diikuti dengan latihan-latihan berikutnya.”
Ambar dan lain-lainnya memperhatikan Andika dengan ekspresi serius.
“Maksudku ... karena kita belum kompak nyanyi, latihannya tidak cukup sekali! Perlu beberapa kali lagi. Kita lihat perkembangannya,“ ujarnya lagi menjelaskan.
”Yang bilang latihan cuma sekali itu siapa, Mas Andika?” Parjan ikut nimbrung. ”Kan dah direncanakan latihan sebulan.”
”Aduh, Pak Kadus pura-pura gak tau!” Tukiran berkoar. ”Kayak gak pernah muda aja.”
Parjan menautkan alis.
”Mas Andika itu sebenarnya sudah tau latihan memang gak sekali!”
”Maksudnya?” Parjan penasaran.
”Dia itu sengaja bilang bahwa latihan berkali-kali itu sangat penting. Soalnya dia seneng ada yang nemenin berangkat latihan!” Tukiran bicara enteng sambil melirik ke arah Andika dan Nuning.
Nuning terlihat kaget. Agaknya dia dapat menangkap arah ucapan Tukiran. Dia sangat tidak menduganya.
“Ya, jelasnya Mas Andika bisa menjemput Nuning lagi saat latihan!” Tukiran masih menukas. Nuning betul-betul salah tingkah. “Kok?” ujarnya tak sadar.
“Udah, Mbak Nuning gak salah kok!” Ambar memberi komentar. “Kita-kita dah tau, Mas Andika yang punya inisiatif jemput meski rumah Mbak Wiwid lebih dekat ke Mbak Nuning. Tadi sebelum kalian nyampe, Pak Kadus dah kasih penjelasan.” 
Terlihat Nuning makin salah tingkah.
“Hei, Mbak Ambar! Kamu jangan asal menuduh, ya. Kasihan itu Mbak Nuning!” ujar Andika dengan gaya seakan marah.
Ambar tertawa. “Mas Andika jangan malah menuding Nuning. Kan betul Mas Andika yang minta ke Pak Kadus jemput Nuning!”
Andika garuk-garuk kepala. Dia cepat-cepat menguasai diri. “Tapi masalahnya Mbak Wiwid kan tidak menjemput Nuning!” ujarnya kalem.
“Bagaimana mau menjemput,” Wiwid menukas,”Mas Andika sendiri kan yang melarang. Waktu minta pamit ke rumah Wid, Mas bilang mau menjemput Nuning. Mas bilang akan minta izin ke Paklik  Broto untuk menjemput Nuning,” lanjut Wiwid.
Keriuhan pecah lagi  mendengar penjelasan Wiwid. Sontak mereka menunjuk Andika.
Andika tidak mau mati konyol. “Tapi jangan lupa...!” Andika berseru di antara tudingan teman-temannya.
“Apa lagi?” Ambar dan teman-temannya bertanya hampir bersamaan.
“Mengapa kalian terlalu curiga. Mas kalian ini menjemput Nuning atas dasar rasa tanggung jawab,” tukas Andika. “Selaku ketua karangtaruna, Mas tentu harus bertanggung jawab terhadap anggota.  Termasuk dalam soal antar jemput!”
Weleh-weleh! Lagunya ... mestinya nyari argumen itu yang lebih sip. Sehingga alasan bisa diterima temen-temen.  Yang dijemput kok hanya Mbak Nuning!” Tika menyeringai.
Andika tetap tidak mau kalah. “Soalnya kalian tidak ada yang perlu dijemput! Maksudku, tidak ada yang minta dijemput.”
“Emangnya Mbak Ning minta dijemput ya sama Mas Andika?” tanya Tukiran ke arah Nuning.
“Nggak!” Nuning dengan lugunya cepat menggeleng.
”Wee...!” Teman-teman Andika langsung berkoor.
“Ya sudah. Aku … aku yang punya inisiatif jemput Nuning. Gitu aja. Siapa takut?” ujar Andika kemudian.
Koor ketawa membuncah lagi.
“Ssstt.. . ! Sudah malam!” Andika langsung bersuara. Dia menempelkan jari telunjuk  di ujung kedua bibirnya.
Sikapnya itu malah membuat teman-temannya tambah ramai. Bagaimana tidak. Semua tahu. Itu siasat Andika agar dirinya tidak dipojokkan.
Untungnya di kala itu  kelompok tua datang. Mereka telah siap pulang.
”Ini anak muda dari tadi ngakak melulu!” Bu Parjan bicara. ”Ngobrol terus sementara snack masih banyak yang tersisa. Mestinya sambil disambi.”
“Sudah kami makan kok, Bu! Enak rasanya!” Tukiran menyahut. Sejalan dengan itu tangannya bergerak mencomot satu pisang goreng.
“Tapi kan masih banyak itu. Harus sampai habis!” kata Bu Parjan lagi. “Ayo yang lain seperti Mas Tukiran itu loh. Ayo, ngambil lagi.”
“Mungkin yang lain pada malu, Bu!” Tukiran nyerocos di antara kunyahan.
Walah kok pakai malu-malu,” Parjan kali ini bersuara. Wong nggak ada siapa-siapa.”
“Nggak tau ini,” Tika menjawab. “Ngakunya saja malu-malu. Padahal biasanya malu-maluin!” lanjutnya berkelakar. Langsung suasana kembali ramai.
* * *
Saat-saat akan berpamitan, keriuhan terjadi lagi. Pasalnya Andika bersikeras mengantarkan Nuning pulang. Sementara Nuning telah bersiap di samping Wiwid.  Tanpa sepengetahuan Andika, Nuning telah minta pulang bersama Wiwid. Nuning tidak ingin jadi bulan-bulanan kelakar teman-temannya.
“Setidaknya untuk hari ini biarlah Mas dulu yang mengantarkannya ...,” pinta Andika lembut. ”Tadi kan Mas sendiri yang jemput. Apa nanti kata orangtua Nuning jika yang mengantarkan putrinya bukan orang yang semula menjemputnya.”
Semua terdiam kali ini. Mereka dapat memahami logika yang disebutkan Andika.
”Bisa-bisa aku dituduh nggak bertanggung jawab nanti. Padahal pemimpin kan mestinya bertanggung jawab,”  lanjut Andika.
“Masuk akal sekali alasannya!” Tukiran merespon dengan mimik lucu. Tentu saja hal itu memancing tawa lagi.
“Sudahlah. Saya kira Mas Andika benar!” Akhirnya Parjan menengahi. “Kalian ini kok masih saling menyindir.”
Anak-anak tersenyum. Termasuk Bu Parjan.
”Tadi kan sudah saya bilang, sesama bis kota dilarang saling mendahului. Jadi jangan saling nyeneni. Wong cuma ngantar jemput kok komentar kalian macem-macem.”
Karena dibela, Andika merasa di atas angin. Tanpa sungkan dia langsung mengajak Nuning untuk menuju sepeda motornya.
”Tapi ...,”Nuning tidak meneruskan kata-kata. Dia berdiri dengan rasa serba salah. Dia mencoba melirik ke arah Wiwid. Wiwid malah memberi tanda dengan tangannya supaya Nuning mengikuti Andika.
Tidak ada pilihan lain, Nuning mengikuti langkah Andika.  Tanpa komentar. Baginya menenangkan gemuruh di dada lebih penting daripada mengeluarkan kata-kata. Dia takut, salah komentar malah membuat dirinya lebih tersudut.
Saat-saat motor telah melaju di antara jalan dusun, Andika mengajak Nuning berkomunikasi. “Maafkan Mas Dika, ya Ning!” ujar Andika di antara deru sepeda motor.
“Tentang apa, Mas?” tanya Nuning singkat.
“Itu loh tadi. Gara-gara Mas Dika mengantar jemput, kamu akhirnya menjadi malu. Eh ... maksud Mas ... seakan Mas Dika mempermalukan kamu!” ujar Andika. ”Kita-kita tadi hanya bercanda kok. Jangan diambil hati.”
 “Nggak apa-apa kok, Mas!” Nuning menyahut.
“Betul kamu nggak marah, Ning?” tanya Andika serius.
“Kenapa harus marah. Mestinya Nuning malah berterima kasih karena Mas Dika mau mengantar jemput orang seperti Nuning.”
“Kok bilang gitu sih? Apa maksudmu dengan kata ‘orang seperti Nuning’? Andika keheranan.
Nuning menghela nafas. “Nuning kan bukan anak sekolahan lagi, Mas!” jawab Nuning dengan suara berat. Tetapi jawaban Nuning itu malah membuat Andika tergelak.
“Kenapa tertawa, Mas?” Nuning penasaran.
“Soal jemput-menjemput ini tidak ada hubungan dengan status sekolah atau tidak sekolah!” sahut Andika menjelaskan. “Masalahnya kamu itu kan penyanyi inti, Ning.”
“Jadi maksud Mas, Nuning ini diantar jemput karena penyanyi inti. Begitu maksudnya, Mas?” Nuning ingin penegasan.
“Setidaknya kamu memang penyanyi inti.  Jadi layak untuk diperlakukan secara khusus!” kata Andika lagi.
Nuning mendesah. Ketika itu rumah Nuning telah dekat. Andika segera menurunkan gas. Dengan kesibukannya itu, ditambah lagi karena membelakangi Nuning, Andika tidak tahu bagaimana respon Nuning atas kata-katanya terakhir.
Sesungguhnya, betapa terpukulnya hati gadis itu.  Alasan mengantar jemput karena penyanyi inti, itu jelas mengecewakan Nuning. Andika tidak tahu, Nuning sebetulnya berharap lebih dari itu.
“Tiga hari lagi Mas jemput, ya ...!” Andika menukas sesaat Nuning telah turun.
“Nggak usahlah, Mas!” Nuning menggeleng. Suaranya terdengar tegas.
Andika agak terkejut atas penolakan Nuning itu. “Kenapa, Mbak?” tanya Andika dengan tatapan tidak mengerti.
Nuning menggeleng lagi. “Nanti biar bareng Mbak Wiwid aja!”
“Nanti Mas Dika juga bisa bilang ke Wiwid biar Mas aja yang menjemput!” Andika masih bersikeras. “Langsung ya bisa, lewat SMS juga nggak masalah.”
Owalah, kok Nuning lupa. Tadi malah sudah bilang ke Mbak Wiwid supaya dia aja yang jemput. Kami perginya bareng. Jadi nggak usah repot jemput Ning, Mas!” Nuning cepat menolak. Suaranya lebih tegas.
Andika mengerutkan kening. Dia menangkap nada keketusan dalam jawaban penolakan Nuning. “Tapi kenapa. Apa kamu marah, Ning?”
“Gak!” Nuning menggeleng.
“Bener gak apa-apa?” tanya Andika minta kepastian.
“Nggak. Nuning nggak apa-apa, kok. Cuma ingin supaya bareng dengan Wiwid aja! Lagian tadi Wiwid juga mengiyakan supaya kami bareng,” tukas Nuning dengan mantap.
Andika masih belum dapat menyelami perasaan Nuning. Dia masih tidak mengerti. Dicobanya menatap mata Nuning. Tetapi gadis itu malah menekuri tanah. Di bawah temaram cahaya lampu, Andika bisa melihat arah tatapan mata Nuning.
Yo wis. Kalau begitu nanti tidak Mas jemput! Mas Dika pamit dulu,” ujar Andika kemudian. Dia segera mempersiapkan motor. Tidak dilihatnya anggukan kepala Nuning.
“Tapi, Mas . . . !” Nuning berkata setengah berteriak.
Andika menoleh.
”Makasih ya, Mas!” ujar Nuning lembut.
Andika tersenyum. Kepalanya dianggukkan. ”Sama-sama, Mbak!”
Setelah itu Andika segera melajukan sepeda motornya. Tinggallah Nuning yang kini bermain dengan pikiran dan perasan.
“Soal jemput-menjemput ini tidak ada hubungan dengan status sekolah atau tidak sekolah! Masalahnya kamu itu kan penyanyi inti, Ning. Setidaknya kamu memang penyanyi inti. Jadi layak untuk diperlakukan secara khusus!” kata-kata itu kembali terngiang dalam benaknya.
Hm, jadi Mas Andika menjemputku karena penyanyi inti! desah suara hati Nuning. Betapa kecewanya dia. Padahal sesungguhnya dia berharap lebih dari itu. Nuning sangat berharap Mas Andika menjemputnya karena alasan lain.
Tapi, ah, mestinya aku tau diri. Mestinya aku bercermin siapa diriku. Tidak pantas berharap banyak kepada Mas Andika yang anak sekolahan. Sekaligus anak orang yang terbilang berada di desaku! Nuning mendesah lagi dalam hati.
*  *  *
Keesokan harinya, sebagaimana biasa Nuning sudah bangun pagi-pagi sekali. Air hangat untuk mandi bapaknya sudah disiapkan. Ketela untuk sarapan pun sudah berada di atas kompor.
   Saat-saat begitu biasanya bapaknya sudah bangun dan bersiap-siap mandi. Namun kali ini Nuning belum melihat bapaknya keluar kamar. Sedari tadi cuma batuknya terdengar menembus dinding.
Nuning kembali melihat ke arah jam weker di dinding. Meski sudah kelihatan lusuh dan tua, jam peninggalan sejak almarhumah ibu kandungnya itu masih akurat penunjuk waktu. Hm, sudah setengah tujuh, mengapa bapak belum bangun juga? pikir Nuning. Jangan-jangan penyakitnya kumat lagi, bisik hati Nuning.
Tidak sabar, kemudian Nuning mengetuk pintu. “Pak! Bapak! Apa Bapak belum bangun, ya!” seru Nuning. Sampai beberapa kali, tidak ada sahutan.
Dibukanya pintu kamar orangtuanya. Tidak terkunci. Begitu masuk, langsung terlihat bapaknya. Broto sedang bersandar ke dinding yang rapat dengan tempat tidur. Posisinya setengah duduk. Tangan Broto memegangi dada.
Sementara itu di sebelah Broto, Suharti tetap tergolek dengan tanpa rasa terusik. Nuning tidak merasa aneh lagi pada kebiasaan ibu tirinya itu.
“Bapak!” Nuning berteriak kecil. Dihampirinya Broto. “Kenapa, Pak?” tanya Nuning lagi.
Broto tidak mengeluarkan suara. Dia hanya mengangguk sambil memberi tanda menunjuk ke arah dadanya.
“Sakit, Pak? Kalau begitu sebaiknya nanti Bapak berobat wae, Pak!” usul Nuning. Suaranya menunjukkan kegundahan perasaannya.
“Berobat? Ngerepotin aja! Nanti pake biaya lagi!” Suharti tiba-tiba bicara. Posisinya masih tergolek di tempat tidur.
“Tapi Bapak sakit, Bu!” kata Nuning dengan nada prihatin. Dipeganginya Broto.
Suharti melengos. “Yang bilang sehat siapa rupanya? Karna sakitlah maka semua jadi habis. Sehingga kita terpaksa tinggal di gubug seperti sekarang ini. Berobat tapi nggak sembuh-sembuh!”
“Yang namanya usaha kan harus terus dilakukan, Bu. ..!” Nuning protes. Entah dari mana datangnya keberanian mengucapkan kata-kata itu.
“Eeee ... kowe ini cah cilek kok malah ngajari,” sergah ibu tirinya dengan berang. Dia bangkit dari posisi yang semula tergolek. “Usaha apa yang tidak dilakukan. Ke sana ke mari sudah diobatkan. Hasilnya tetap nihil. Bapakmu ini tetap saja nggak sembuh.”
Nuning terdiam kali ini. Dia tau tabiat Suharti. Tidak berani dia mengomentari.
“Sementara sekarang ini utang di sana sini numpuk. Coba siapa sanggup menjadi ibu rumah tangga seperti ini.”
Nuning tetap diam.
“Kalau begini menyesal rasanya. Mengapa aku tidak mengikuti nasehat Mas Rusdi, kakakku yang di Jakarta itu. Kalau aku ikut pesannya untuk tidak kawin dengan orang kampung. Pasti tidak sesulit ini nasibku,” sambung Suharti dengan ekspresi wajah muram.
“Tapi ...!” Nuning sempat mau merespon. Namun tidak berlanjut. Tangan lemah Broto telah menahannya. Orangtua itu memberi isyarat dengan tangan agar Nuning diam.
Nuning patuh. Perasaan Nuning sesungguhnya tidak bisa menerima perlakuan ibunya. Kalau selama ini dia dimarah dan dibentak-bentak karena kesalahan, Nuning masih bisa terima. Namun kalau sudah bapaknya yang disalahkan, rasanya tidak adil.
“Tapi apa ...?” Kini Suharti menghardik sambil menatap Nuning dengan tajam. “Kowe ini makin menjadi-jadi aja, ya. Kowe kira di depan bapakmu opo aku bisa jinak?” serunya lagi sambil menuding-nuding Nuning dengan jari telunjuk.
“Sudahlah, Bu. Bapak ini sakit!” Broto mencoba menenangkan istrinya. Dipegangi dadanya. “Aku ora iso denger yang keras-keras!”
“Sakit iya aku ngerti kowe itu sakit. Tapi anakmu itu loh. Tidak punya adat dan sopan santun!” Dada Suharti terlihat turun naik saat mengucapkan kata-kata.
“Tadi itu Nuning hanya bilang perlu berobat. Dengan keadaanku sekarang ini, Ning betul. Aku  kan memang perlu berobat!” Broto menuturkan dengan suara dibuat tenang. Ditahannya rasa emosi.
“Berobat lagi ... berobat lagi .... enak aja?” Suharti menekan suara. ”Mana uangnya? Memangnya berobat nggak pake uang.”
Broto terdiam.
”Kalau ngerti pasti anakmu itu tau diri. Ya mbok pergi sana mencari uang. Supaya ada biaya berobat.”
Broto tetap diam.
”Kalau cuma mengandalkan gaji pegawaimu yang mepet itu mana cukup.  Potongan begitu banyak. Untuk makan saja sudah keleleran. Apalagi nek ditambah ngurus berobat. Hancur mina,” lanjut Suharti dengan nada bersungut.
“Mau cari uang ke mana si Nuning, Bu? Sekolahnya aja udah Ibu putuskan. Lagi pula umurnya belum cukup!” Broto bicara lagi. Kepalanya digeleng-gelengkan.
“Apanya yang sulit. Mudah saja. Sekarang ini pembantu banyak dibutuhkan,” Suharti  berkata dengan mudahnya.
Broto mendelik. “Jadi pembantu?”
“Yaiyalah. Banyak kok orang yang menjadi pembantu. Mereka bisa membantu meringankan biaya hidup keluarga. Lihat saja itu anak tetangga seperti anak Pak Paiman, anak Bu Lasmi, anak Pak Jamingun. Malah anak Pak Jamingun bisa jadi TKI. Ah, pokoknya banyak contoh! Di mana ada kemauan di situ ada jalan!” tukas Suharti.
“Anakku menjadi pembantu?” ulang Broto seakan tidak percaya pada pendengaran.
“Lalu mau jadi apa anakmu yang nggak ada sekolahnya ini? Mau jadi direktur, gitu?” tanya Suharti dengan ekspresi wajah ketat.
“Wah ... wah ... sudah sekolahnya diputus,  sekarang mau disuruh jadi pembantu?”  Broto memperlihatkan wajah tidak senang. Ditatapnya Suharti lekat-lekat.
Suharti tidak mau kalah. “Sekolah lagi ... sekolah lagi!” ujarnya seperti menyesal. “Selalu aku yang disalahkan. Kalau anakmu ini sekolah, kita mau makan apa?”
Broto diam
”Sudah dibilang, utang di sana sini. Nyebar koyo virus yang bersarang di tubuhmu itu.  Kridit melulu … sampe malu aku!” kata Suharti bernada sewot.
Broto tetap diam.
“Atau kalo nggak, mungkin jadi buruh wae. Pabrik-pabrik kan banyak. Kerja di pabrik kulit misalnya,” Suharti kembali bicara.
“Buruh sama pembantu itu sama saja,” Broto kali ini berkomentar.
Jadi mau jadi apa? Mau jadi direktur. Ya udah jadi presiden sekalian!”
“Tapi … uhuk ... uhuk!” Broto tidak jadi meneruskan kata-katanya. Dipeganginya dadanya.
Melihat bapaknya dalam kondisi payah begitu, Nuning segera mengurut pundak bapaknya.  “Sudahlah Pak. Sekarang Bapak berbaring saja dulu,” ujar Nuning dengan perasaan gundah.
”Wis aku duduk di kursi saja!” pinta Broto.
Nuning segera membantu bapaknya menuju kursi.
***
Setelah membaringkan bapaknya, Nuning bergegas ke belakang. Direncanakannya menyiapkan kain untuk dibasuh ke air hangat. Dia selalu melakukan jika bapaknya tidak mandi.  
Selepas dari mulut pintu belakang, Nuning dicegat Suharti. Mata Suharti terlihat tajam. “Eh ... kowe jangan macam-macam, ya. Jangan mentang-mentang di depan bapakmu jadi banyak tingkahmu!” sergah Suharti sambil mengacung-acungkan tangan.
Nuning diam. Kepalanya menunduk. Dia tidak mau ambil risiko. Tidak ada guna melayaninya, pikir Nuning.
“Hei! Kowe ngerti apa nggak?” hardik Suharti.  Dia merasa tersinggung Nuning diam saja.
“Me ... mengerti, Bu!“ Nuning menyahut agak tergesa.
“Sebenarnya kurang apa. Selama ini Ibu begitu baik kepadamu. Meskipun sebetulnya aku ini hanya ibu tirimu!” ujar Suharti lagi. Kali ini suaranya dibuat melunak.
Nuning terdiam.
“Aku sudah berusaha menghindarkan pikiran yang biasa digambarkan orang atau cerita-cerita dalam film.”
Nuning tetap diam.
“Selalu digambarkan  ibu tiri itu seakan kejam dan tidak berperasaan. Tapi kowe itu tau dan merasakan sendiri.  Aku begitu memperhatikanmu.  Aku begitu baik kepada kowe sama Arum ... iya kan?” sambung Suharti.
Nuning tidak merespon.
“Iya kan?” ulang Suharti  dengan tambahan penekanan.
Nuning tersadar. Buru-buru ia mengangguk.
“Nah itulah. Tapi kenyataannya apa ...? Kowe selalu saja bikin ulah. Ya seperti itu tadi. Mentang-mentang di depan bapakmu yang sakit-sakitan itu ... ulahmu macam-­macam. Kowe itu semakin menjadi-jadi,” sambung Suharti masih dengan suara ditekan.
Nuning diam.
“Maka . . . kini tidak ada pilihan. Kowe itu harus dididik dengan keras. Kelihatannya model kowe ini mesti dipecut dulu baru jalan!”
Nuning menghela nafas.
“Kalau lain kali masih macam-macam, hm, awas!” ancam Suharti serius. 
Terdengar suara tangisan Tutik.
“Pergi sana. Diurus itu adikmu!” sergah Suharti dengan nada geram. Setelah mengucapkan itu, dia  melangkah ke ruang depan.
* **
Dua hari menjelang latihan kedua, Wiwid datang menemui Nuning.  Nuning baru selesai menyapu halaman rumah. Ketika itu hanya ada Nuning, Arum, dan Broto. Suharti bersama Tutik tengah keluar menjenguk anak lahir
“Tumben Wid kamu dateng!” Nuning menyambut dengan ramah. Sementara Wiwid turun dari motor.
“Yah biasa ... urusan bisnis!” Wiwid berkata sambil tertawa kecil. “Tapi bisnis apa ya? Ah ... nggak taulah, Ning,” lanjut Wiwid kebingungan sendiri.
Nuning tersenyum seraya mempersilakan Wiwid masuk.
“Ada apa, Wid?” tanya Nuning setelah berada di dalam rumah.
“Ah, nggak. Cuma main aja!” Wiwid menjawab enteng. “Soalnya aku sudah kangen juga sih sama kamu, Ning. Sekalian ngobrol grup nyanyi kita.”
“Yah ... syukurlah kamu mau dateng,” Nuning bicara serius. “Soalnya sejak belakangan ini sudah jarang yang mau datang!”
“Jangan gitu dong, Ning!”
Nuning menghela nafas. Terlihat berat.
Wiwid memperhatikan Nuning. “Kenapa, Ning? Kamu jadi lain sekarang!” tanya Wiwid kemudian.  Dia tetap diliputi rasa penasaran.
“Bagaimana tidak lain, Wid!” Nuning cepat menukas. “Statusku saja sudah berbeda antara dulu dengan sekarang.”
“Maksudmu, Ning?” Wiwid belum mengerti arah ucapan Nuning.
Nuning tersenyum hambar. “Aku sekarang kan pengangguran. Nggak sekolah lagi. Masa depan nggak jelas,” ucap Nuning dengan nada terenyuh.
Wiwid terdiam. Agaknya dia bisa menyelami perasaan Nuning.
“Beruntunglah kamu punya orangtua sehat. Juga ibu yang baik. Semua menyayangimu. Sehingga bisa terus melanjutkan sekolah, Wid!” lanjut Nuning sembari menatap Wiwid.
Wiwid mendesah sekilas. “Kasihan kamu, Ning. Kasihan juga bapakmu. Oh, ya,  Paklik Broto ada di mana, Ning?” Wiwid mengedarkan pandangan ke kamar.
“Ya, bapak ada!” Nuning mengangguk. ”Waktunya memang terpaksa lebih banyak di tempat tidur. Apalagi kemarin penyakitnya kambuh. Meski sudah agak mending sekarang.  Sudah dua hari ini bapak nggak masuk kerja!”
“Sakit kanker memang berat ya, Ning?”
“Bukan hanya kanker, Wid,” Nuning menggeleng. “Sudah komplikasi. Macem-macem kata dokter. Tapi yah begitulah. Untuk mengobatinya kami sudah tidak punya biaya lagi!” lanjutnya. Mata Nuning terlihat mulai berkaca-kaca.
Wiwid terdiam. Dia larut dalam kesedihan temannya itu.
“Tapi, ah, jadi kelupaan ni wedang-nya,” tiba-tiba Nuning teringat sesuatu. 
“Aduh nggak usah repot-repot, Ning!” Wiwid mencegah. “Koyo tamu jauh.”
“Nggak apa-apa kok. Cuma mau menyiapkan air putih. Yang ada cuma itu!” ujar Nuning tidak ragu. Dia segera beranjak ke belakang.
Wis, Ning. Bener. Nggak usah!” Wiwid menukas seraya menggelengkan kepala.
“Nggak apa-apa,” ujar Nuning sembari tetap meneruskan langkah.
Wiwid kehabisan kata-kata.
* * *
Nuning muncul lagi. Segelas minuman dibawanya di atas baki.
         “Walah … walah … Mbak Nuning, sudah dibilangin jangan … tapi ya masih disiapin minum!” Wiwid bicara sesaat setelah Nuning meletakkan gelas minuman.
“Nggak apa-apa,” Nuning tersenyum. “Supaya nggak  nyalahi peraturan.”
Mata Wiwid mendelik. “Nyalahi peraturan?” tanyanya penasaran.
“Kita itu wong timur,” Nuning menyahut. “Peraturannya ... ada tamu harus dilayani dengan baik. Meski air putih, yang penting wis ngikuti aturan, ngargani tamu.”
Wiwid tertawa. “Owalah … Ning. Kirain peraturan apa?”
Nuning tersenyum.
“Sebenarnya ada yang mau kusampaikan kepadamu, Ning!” Sejurus kemudian, Wiwid bicara lagi.
“Apa itu?” Nuning tertarik. Diletakkannya baki pembawa minuman di kursi sebelahnya.
Wiwid meraih gelas minuman. Meneguk isinya sedikit. Baru kemudian bicara, “Begini. Kemarin Mas Pram, kakakku, memberi aku tiket nonton konser musik kampus. Tempatnya di JEC.”
Nuning tertarik. “Konser musik?”
Wiwid mengangguk. “Kampus Mas Pram mengadakan pertunjukan musik. Diundang grup-grup musik kampus di Yogya ini.  Kebetulan Mas Pram termasuk salah satu panitia. Jadi dia dapat tiket ekstra. Namanya panitia ... tentu dong ada jatah tersendiri.”
“Wah ... asyik, ya! Kapan itu?” Nuning kian tertarik.
“Masih lama juga sih. Tapi aku langsung nggak sabaran nyampein kepadamu, Ning!” tukas Wiwid bersemangat.
”Iya to?”
“Yah sekalian mau mastiin keberangkatan latihan lusa di rumah Pak Kadus.  Kamu jadi bareng aku atau masih dijemput Mas Andika?”
“Ya, aku kan sudah bilang supaya kita bareng.”
”Bisa aja kan waktu kemarin itu kalian bareng pulang lalu ada deal yang baru!” Wiwid bicara sambil mengerlingkan mata.
Nuning mengibaskan tangan di udara. ”Ngawur aja kowe, Wid. Gak ada itu. Tapi yang penting kowe nggak keberatan kan bareng aku.”
“Walah kowe itu gimana sih, Ning. Nggih, jangan kuatir. Mosok sih keberatan?”
”Ya makasih.”
Wiwid mengembangkan senyum. ”Ohya, gimana  soal konser yang kubilang tadi, Ning?”
Nuning menghela nafas. “Memang persisnya kapan, Wid ?”
“Empat hari lagi.”
Nuning terdongak. “Empat hari …? Kalau empat hari berarti ya nggak lama lagi dong, Wid!”
Wiwid mengangguk.
“Kok ngasih taunya baru sekarang?”
“Nggak tau itu. Mas Pram juga ngasih taunya baru tadi malam. Dan cara ngasih taunya kamu tau, Ning . . . ?“ kata Wiwid dengan ekspresi lucu.
“Wah ... mana aku tau!” sahut Nuning seraya angkat bahu.
 “Ya begitu itu tadi.  Seperti aku ngabari kamu!”
Nuning mengerutkan kening.  “Memang tadi piye? Kok aku jadi bingung,” dia bertanya dengan rasa penasaran.
“Ya pokoknya Mas Pram itu ngasih taunya mendadak gitu!”
Nuning mengerjap-ngerjapkan mata.
“Sebetulnya dah lama sih tau Mas Pram jadi panitia! Tapi soal undangan itu baru dikasih tadi malam,” terang Wiwid. “Selama ini Mas Pram banyak keluar rumah. Ya sibuk ngurusin konser itu.”
Nuning manggut-manggut.
“Konser dalam rangka apa to, Mbak?” Nuning bersuara lagi.
“Nyambut Tujuh Belasan. Agustusan.”
Nuning mengernyitkan kening. ”Tujuh Belasan kan masih sebulan lagi?”
”Iya sih!” Wiwid mengangguk. ”Tapi kegiatannya dibuat dalam rangka menyambut Tujuh Belasan.”
“Ooo ... gitu.”
“Ooo ... bulat!” Wiwid terkekeh. ”Tapi kayaknya seru loh, Ning. Di samping bisa lihat-lihat anak kampus, kita juga bisa ketemu artis ibukota.”
“Apa ada artis ibukotanya to?”
“Yaiyalah ...,” Wiwid menjawab dengan intonasi jenaka. “Menurut Mas Pram begitu. Malah produser rekaman juga ada. Pokoknya kompletlah.”
“Seru dong ya, Wid.”
“Makanya, kamu ikutlah, Ning. Siapa tau kowe kegaet disuruh ikut rekaman,” ujar Wiwid kemudian berpromosi.
“Hush … ngawur. Ngimpi apa mau jadi artis?“ Nuning tergelak.
Wiwid juga tertawa.
“Siapa artis yang datang, Wid?” Nuning tertarik.
Wiwid menyebutkan nama kelompok musik terkenal ibukota.
”Yang bener, Wid?” Nuning bertanya penuh semangat. Lewat radio selama ini Nuning sering mendengar lagu-lagu kelompok musik tersebut.  Dia memang nge-fans pada grup musik itu.
Mosok aku bohong sih?” Wiwid bicara serius. ”Kok ya tega-teganya nuduh aku bohong.”  
Nuning tergelak sejenak. “Wah seru nek gitu,” ujarnya kemudian seraya mengangguk-anggukkan kepala.
“Makanya, Ning. Kita nonton ya, Ning!” ajak Wiwid penuh semangat pula.
Nuning menghela nafas. Tatapannya kosong.
Wiwid memperhatikan Nuning seksama. Dicobanya menebak-nebak jalan pikiran temannya itu. “Kenapa, Ning? Soal kendaraan? Ya nanti kujemput ke mari. Kita bareng!”
“Tapi ... apa kamu nggak malu mengajak temen seperti aku, Wid?”
“Kok malu?” Wiwid terlihat kaget. Dipandangi temannya itu lekat-lekat. “Kamu bicara apa, Ning?”
“Status kita beda. Kamu anak sekolahan sedangkan aku hanya pengangguran,” ujar Nuning nelangsa.
Wiwid mengerutkan kening. “Kamu kok bicara begitu, Ning? Aku nggak pernah memandang adanya perbedaan di antara kita karena soal sekolah!”
“Bagimu memang mudah bicara, Wid. Tapi aku? Akulah yang paling merasakan bagaimana sakitnya. Putus sekolah dan menjadi pengangguran,” sahut Nuning dengan suara datar.
Wiwid tercenung sesaat. “Tapi putus sekolah kan bukan kemauan kamu, Ning,” tukas Wiwid kemudian. “Keadaan yang memaksa sehingga berada pada situasi seperti sekarang ini.”
Nuning terdiam. Matanya menekuri lantai. Mengikuti irama kegundahan hatinya.
Wiwid dapat menyelami perasaan teman bekas satu kelasnya itu. “Ada begitu banyak anak tidak beruntung. Harus putus sekolah karena alasan biaya. Tidak punya pilihan lain,” ujar Wiwid. “Andai kamu bisa memilih, tentu putus sekolah tidak menjadi pilihanmu.”
Nuning masih diam. Sekilas dia menatap Wiwid, sesudahnya melepaskan pandangan ke fokus lain. Menunduk dia.
“Tapi satu hal aku mohon, Ning.” Wiwid memandang Nuning dengan tatapan serius.
Nuning kali ini mengangkat wajah. Dipandanginya Wiwid, menunggu temannya itu melanjutkan ucapan.
”Status boleh berubah dari yang tadinya sekolah menjadi tidak sekolah lagi. Tetapi ... sikapmu jangan berubah, Ning. Setidaknya kamu harus kuat dan tabah. Jangan kalah oleh keberuntungan yang tidak berpihak kepada kamu. Yakinlah semua ada hikmahnya.”
Nuning menatap Wiwid lekat-lekat. Seakan mencari kebenaran ucapan temannya itu.
Wiwid melanjutkan, “Di mataku ... kamu adalah sosok seorang sahabat yang baik. Itu sebabnya aku senang berteman denganmu. Hanya saja kesibukan  kamu ngurusin Paklik Broto dan adanya Bulik kadang jadi menghalang pertemanan kita.”
Nuning tidak berkomentar.
”Maka ... kalau sekarang sikapmu jadi berubah, aku nggak rela, Ning. Sikapmu yang membeda­-bedakan status di antara kita ... bagiku merupakan sesuatu yang tidak baik,” sambung Wiwid sembari coba melihat respon Nuning atas ucapannya terakhir.
Nuning menghela nafas. “Maafkan aku, Wid …,” pintanya pelan. “Bukan maksudku membedakan status di antara kita. Aku hanya terhanyut pada keterpurukan situasi yang kurasakan begitu mencekam perasaanku.”
Wiwid terdiam.
Nuning buka suara lagi disertai desahan nafas, ”Hmh ... putus sekolah sungguh tidak mengenakkan. Ijasah yang kupunya cuma lulusan SMP!” Intonasi suara Nuning semakin menurun. Seiring dengan itu dia mengubah posisi wajah ke samping. Kelopak matanya telah mulai dibuliri kristal bening.
Wiwid tetap dapat menangkap kesedihan hati Nuning.  “Sudahlah, Ning. Anggap saja ini takdir,” ujar Wiwid. Suaranya mirip desahan.
Nuning menatap Wiwid sekilas. Pandangannya dialihkan lagi. Kosong. Beberapa saat dia membisu.
Wiwid tersadar bahwa dia tidak boleh membiarkan Nuning larut dalam kesedihan. “Gimana, Ning. Kita jadi nonton konser musik kan ya?” Wiwid memecah keheningan.
Nuning tidak langsung menyahut. Pikirannya menerawang. Terlintas kondisi sakit bapaknya. Perhatian khusus darinya tentu sangat dibutuhkan bapaknya.
Beban pikiran Nuning tidak hanya itu. Bayang-bayang Suharti yang tidak pernah berpihak juga muncul di benaknya. Bagaimana mungkin mendapat izin dari wanita pengganti almarhumah ibundanya itu. Andaipun mendapat izin, mungkinkah ibunya itu akan menjagai bapaknya yang dalam kondisi payah itu.
* * *
Keesokan harinya Wiwid datang lagi. Dia tidak sendiri. Sukesi ikut mendampingi. Kali ini pun Nuning dapat bebas menerima teman grup menyanyi acara Agustusan itu. Soalnya Suharti kembali tidak berada di rumah. Ibunya itu menghadiri acara arisan RT. Tutik juga dibawa.
Arum juga ngumpul bersama Nuning dan kedua temannya. Arum cenderung pasif. Dia lebih banyak bersikap sebagai pendengar.
Untuk beberapa saat, Nuning dan kedua temannya terlibat dalam obrolan santai. Selalu ada bahan yang diperbincangkan. Namun akhirnya terungkap tujuan utama kehadiran Wiwid dan Kesi. Mereka ingin Nuning bisa ikut acara nonton konser di kampus Pramudia, kakak Wiwid. Wiwid merasa perlu mengajak Kesi mempengaruhi Nuning.
”Ayolah, Ning. Kowe harus bareng-bareng kita nonton konser. Mumpung gratis,” desak Kesi kesekian kalinya. ”Apalagi tuh ada artis ibukota. Barangkali aja kita bisa kenalan ... hik ... hik ...,” lanjut Kesi sambil terkekeh.
”Iya, Ning. Kemarin kamu belum ngasih jawaban. Makanya Wid datang lagi sekarang. Bareng Kesi supaya lebih jelas.  Kamu harus ngasih jawaban. Jawabannya harus oke, gitu!” timpal Wiwid.
Nuning mendesah. ”Siapa yang bilang belum ngasih jawaban? Kemarin Ning kan dah bilang gak mungkin ikut. Ning punya tanggungan bapak. Kalian tau sendiri ... bapak sakit. Parah lagi. Dari kemarin adanya  cuma berbaring di tempat tidur,” ujar Nuning sembari menunjuk ke arah kamar bapaknya.
Wiwid dan Sukesi terdiam. 
Nuning juga terdiam. Kepalanya menunduk.
”Ya, baiknya ikut, Ning. Kan ada Bulik yang bisa jagain!” Wiwid memecah keheningan.
Nuning menghela nafas. Bayang-bayang Suharti memenuhi benaknya. Tetapi bukan hanya bayang-bayang. Sosok Suharti malah benar-benar muncul bersama Tutik.
“Selamat sore, Bulik!” Wiwid yang pertama menyambutnya dengan salam. Sukesi ikut menyapa.
“Selamat sore. Hm, ada tamu rupanya,” sahut Suharti sambil menyerahkan Tutik ke tangan Nuning. “Sudah lama, Mbak Wiwid dan Mbak Kesi?” lanjutnya seraya mengambil tempat duduk di samping Wiwid.
“Mmh, baru kok, Bulik,” Wiwid menjawab ringkas.
“Loh ... tamunya kok cuma dikasih air putih?” Suharti buka suara lagi. Pandangannya singgah di gelas yang ada di hadapan Wiwid dan Kesi. Sekilas kemudian beralih ke arah Nuning.
”Gak apa-apa, Bulik!” Wiwid cepat bicara. Diikuti anggukan Kesi.
“Kok bisa-bisanya kowe cuma ngasih air putih. Kowe harus bisa membedakan tamu yang datang, Ning. Terutama Mbak Wiwid kan anak orang terpandang di desa kita...!” tukas Suharti sambil geleng-geleng kepala.
“Ah ... Bulik!” Wiwid memotong. “Air putih saja sudah cukup, kok. Lagian siapa yang anak orang terpandang, Bulik? Wiwid anak orang biasa kok. Nggak ada bedanya dengan lainnya.  Bulik ini ada-ada aja,” lanjut Wiwid jengah.
Sementara itu Nuning cuma bisa menghela nafas. Padahal jika jujur, ibu tirinya tentu akan merasa malu sendiri. Bukannya Nuning tidak mau menyuguhkan air manis, tetapi gula di dapur memang sudah habis sejak dua hari.
Nuning sendiri sudah sejak menginformasikan masalah  itu kepada ibunya. Tetapi bukan jawaban manis yang didapat. Nuning malah dituding sebagai anak perempuan tidak pandai mengatur penggunaan gula dalam situasi sulitnya ekonomi keluarga.
“Eh ... Ning … itu adikmu Tutik cepat dibawa. Jangan cuma dipegangi. Sudah ngantuk dia dari tadi. Antarkan ke tempat tidur! Sekalian dengan adikmu Arum itu!” Suharti  berujar lagi.
Nuning menurut. Tanpa komentar segera dia membawa Tutik maupun Arum. Menuju ke kamar. Diam dan melaksanakan perintah ibunya dirasa lebih arif. Padahal Nuning sadar betul, dia tadi tidak langsung membawa Tutik karena diajak bicara soal minuman yang disuguhkan kepada Wiwid dan Kesi.
“Sebetulnya ada perlu apa Mbak Wiwid sama Kesi datang ke mari?” Suharti buka suara lagi.
“Ah, nggak. Cuma kangen aja dengan Nuning,” Wiwid menjawab dengan ringan. Kepalanya digelengkan. Sementara Kesi melakukan hal sebaliknya. Kesi menganggukkan kepala.
“Kangen? Wah Mbak Wiwid bisa aja! Kangen kok sama yang sejenis,” ujar Suharti sambil tersenyum. “Kangen mestinya ke anak laki dong. Lebih oke.”
Wiwid tersenyum. “Kan nggak mesti to, Bulik! Kangen sama temen anak perempuan juga kan boleh, Bulik.”
“Iya juga sih!” Suharti mengangguk. “Tapi kangen sama Nuning kan nggak pas. Apa Mbak Wiwid nggak malu berteman dengan Nuning. Dia itu kan nggak sekelas Mbak Wiwid.”
Wiwid tersenyum lagi. Cepat-cepat dia menukas, “Sekarang sih memang nggak sekelas lagi, Bulik. Soalnya Nuning kan sudah nggak sekolah. Kalau dulu sih sekelas.”
“Bukan sekelas itu yang Bulik maksudkan!” Suharti  cepat meralat.
Wiwid pura-pura mengerutkan kening.
“Maksud Bulik nggak level. Mbak Wiwid dan Kesi ini kan anak sekolahan sedangkan Nuning pengangguran. Nuning nggak sekolah lagi.” 
Wiwid tetap mengerutkan kening.
”Harusnya Mbak Wiwid malu. Yah, setidaknya menurut  aku, kalo pun Mbak Wiwid sama Kesi  nggak nganggep Nuning, rasanya pantes-pantes wae,” sambung Suharti.
Wiwid kali ini lebih memfokuskan tatapan. Ada nada keheranan dalam tatapannya. “Mengapa harus malu, Bulik? Apa salahnya? Persahabatan nggak perlu dibuat batasan antara sekolah dengan yang nggak sekolah.”
“Loh ... Mbak Wiwid ini bagaimana to? Dibela kok malah nolak!” tanya Suharti dengan rasa tak puas.
Wiwid menghela nafas.
“Aku itu kan membela Mbak Wiwid. Mbak Wiwid itu anak sekolahan dan berasal dari keluarga terpandang. Mosok temannya orang seperti Nuning.”
Wiwid menggeleng. “Bagi Wiwid ... teman itu nggak milih-milih kok, Bulik. Kalaupun milih palingan yang baik-baik. Jangan berteman sama anak yang nggak bener. Bisa-bisa kitanya terpengaruh jadi nggak bener juga.”
Owalah, Mbak Wiwid!” Suharti geleng-geleng kepala. “Yo wis. Aku nanya yang lain. Oh, ya, kalau nggak salah Mbak Wiwid sama Kesi juga ikut nyanyi untuk acara syukuran Tujuh Belasan nanti di Kecamatan, ya?” lanjut Suharti mengalihkan percakapan.
Wiwid mengangguk. “Iya, Bulik. Tapi kami berdua ini cuma pelengkap kok. Nggak seperti Mbak Nuning. Dia itu penyanyi inti. Suaranya bagus.”
“Wah ... kok komentarmu sama dengan Mas Andika?” tanya Suharti. ”Waktu Mas Andika ke mari saat minta pamit ke kami untuk ngajak Nuning nyanyi,  juga bilang Nuning bagus suaranya. Padahal apa bagusnya suara Nuning. Menurut Bulik, suara Nuning malah seperti radio rusak yang  kehilangan sinyal ... he... he ... he ....”
“Tapi ... bagaimana ya, Bulik. Kayaknya semua mengakui kok! Iya kan, Kes?” Wiwid bicara dengan nada serius. Kesi langsung mengiyakan.
“Ah . . . nggak betul itu . . . ,“ Suharti protes. “Dia itu cuma gayanya aja. Nggak suka  Bulik ngelihatnya. Di rumah ... kerjanya cuma ndengerin radio. Dia itu sering­-sering ngikuti lagu-lagu. Perasaannya kayak penyanyi top yang diikutinya itu.”
“Kelihatannya Nuning memang senang musik, ya Bulik!” Sukesi kali ini bersuara.
“Iya ... nanti kan bisa jadi penyanyi kamar mandi ... he ... he ....” Suharti tertawa-tawa.
“Yah. . .bukan soal mau jadi penyanyi kamar mandi atau nggak, Bulik!” tukas Kesi lagi. “Tapi yang jelas menurut kami ... Mbak Nuning itu punya bakat nyanyi, suaranya bagus,”
Nggih, Bulik!” Wiwid mengangguk.
“Ah ... apa bagusnya si Nuning,” Suharti tetap protes. “Kalau soal suara, Bulik kalian ini gini-gini sebetulnya jauh lebih bagus.”
“Iya to, Bulik?” pancing Wiwid.
Suharti mengangguk. “Tapi yah. . . karena Bulik  sudah tua saja ... maksud Bulik sudah agak tua ... gitu.”  
Wiwid sempat tersenyum.
“Lagian kalo untuk nyanyi di tingkat Kelurahan ... lha ... jelas nggak mau aku. Gak level.”
“Bukannya kalo suara gak ada hubungannya dengan tua atau muda, Bulik. Kalau memang bagus, tua atau muda sama aja. Banyak contoh penyanyi setelah tua juga tetap oke,”  Wiwid berargumen.
Suharti melengos.
“Memangnya apa sebelumnya Bulik pernah tampil nyanyi di mana gitu?” tanya Wiwid lagi bermaksud mengumbar.
“Belum juga. Tapi sebetulnya suara Bulik bagus.”
“Ooo...gitu to, Bulik.”
“Ah ... sudahlah, Mbak Wiwid. Nggak enak Bulik bicara diri sendiri. Nanti dibilang sombong,” kata Suharti kemudian dengan suara melunak.
Kali ini Wiwid tidak merespon. Matanya malah tertuju ke arah kamar.  Dia ingin Nuning dapat bergabung lagi.
“Dari tadi kalian ngomong apa saja ke Nuning?” Suharti  buka percakapan lagi.
“Gak ada yang terlalu penting kok, Bulik,” Wiwid menjawab dengan nada datar. Kepalanya digelengkan. ”Hanya saja, sebetulnya kami ini datang mau ngajak Mbak Nuning, Bulik!”
“Ngajak Nuning? Ngajak Nuning ke mana?” Suharti penasaran.
Wiwid menghela nafas sekilas. ”Gini, Bulik. Nuning itu kan seneng musik. Kebetulan tiga hari lagi mau ada konser musik. Kita berdua mau ngajak dia nonton konser itu. Barangkali aja Bulik ngebolehin Nuning ikut.”
Suharti  mengernyitkan kening. “Konser musik? Di mana?” dia tertarik.
“Ceritanya ... tiga hari lagi tuh kampusnya Mas Pramudia ngadakan konser musik,” sahut Wiwid. ”Pesertanya grup-grup musik kampus. Para mahasiswa.”
”Wah, rame, dong.”
”Dan serunya lagi, dalam konser itu ada penyanyi ibukotanya loh, Bulik. Sebagai bintang tamu, gitu. Di samping itu, produser rekaman juga ada. Pokoknya asyiklah  ...!” lanjut Wiwid penuh semangat.
“Ada penyanyi ibukota? Siapa yang datang?” Suharti makin antusias. Dipandanginya Wiwid lekat-lekat.
Wiwid segera menyebutkan grup musik yang rencana akan datang.
Suharti terlihat berpikir-pikir “Mereka lagunya apa, ya Mbak Wiwid. Bulik kok ya lupa.”
Wiwid tertawa. ”Lupa atau nggak gak ingat, Bulik?”
”Lupa dengan gak ingat apa bedanya?” Suharti merespon sambil nyengir.
”Wiwid ngakak. ”Ya, bilang aja gak tau, Bulik!”
”Yah ... nggak tau ...! Pasti grup musik baru, kan?”
”Haa ...?” Wiwid menautkan alis. Dia mencermati keseriusan Suharti.  Mosok Bulik nggak tau? Yang bener, Bulik?”
“Bulik taunya Hetty Koes Endang, Elvie Sukesih, ... yah pokoknya banyaklah!”
Wiwid tertawa. “Sing bener, Bulik. Yang disebutin tadi penyanyi perseorangan bukan grup!”
Kesi kemudian berinisiatif memperdengarkan lagu.
“Ooo … itu yang nyanyikan mereka, ya?” Suharti manggut-manggut.
“Yaiyalah, Bulik!”
Suharti masih manggut-manggut. ”Oo…gitu  to …? Habis ... Bulik sih nggak ngikuti perkembangan. Kowe tau sendiri Mbak Wiwid, aku ini sibuk ngurusi Paklik-mu. Soalnya, sakitnya makin lama makin parah. Jadi harap maklum aku ini nggak ngerti perkembangan lagu-lagu.”
Nggih. Yah, nggak apa-apalah, Bulik.”
“Kecuali kalo Sinetron, kowe jangan cerita, Mbak Wiwid,” tukas Suharti kemudian mantap. “Kalo sinetron ... aku ini rajanya.”
Nggih, Bulik. Rajanya atau ratunya, Bulik?” Wiwid menyela.
Suharti mengerutkan kening. “Maksudnya?”
“Raja kan sebutan untuk laki, sementara ratu itu untuk perempuan. Bulik kan perempuan!”
Suharti tertawa sekilas. ”Owalah. Iya, ya, aku ini ratunya. Ratu yang nguasai sinetron-sinetron, hehehe....”
Wiwid dan Kesi ikut tertawa.
”Makanya, ayo mau bicara judul sinetron apa. Aku gak bakalan kalah!” cetus Suharti yakin.
“Nggak, Bulik,” Wiwid yang menggeleng. “Wiwid dan Kesi mau bicara konser  kampusnya  Mas Pram aja.”
Wah, pasti rame ya konsernya. Bulik kalo bisa  diikutkan dong, Mbak Wiwid.’’
Wiwid menghela nafas. “Tapi ini kan untuk yang muda-muda, Bulik. Namanya juga musik kampus.”
“Kan ada penyanyi ibukota. Penyanyi ibukota kan nggak terbatas untuk yang muda-muda. Orangtua juga bisa ikut. Setidaknya untuk orangtua yang berjiwa muda seperti aku ini.”
Wiwid senyum. Kesi juga.
”Barangkali aja Bulik bisa foto dengan artis ibukota. Hasilnya bisa dipajang di ruang tamu …  di sini!” ujar Suharti  seraya menunjuk ke arah dinding.
Wiwid tertawa. “Bulik bisa aja,” komentarnya singkat.
“Eh ... Mbak, kalo nggak salah tadi katanya ada produsernya dari Jakarta ya!” tanya Suharti kemudian.
         ”Iya! Kenapa rupanya, Bulik?” Wiwid tertarik.
         “Bulik juga punya keluarga yang kerja di bagian rekaman loh di Jakarta,” ujar Suharti bersemangat.
         “Oh ya?” Wiwid menatap serius.
Nggih, Mbak Wid!” Suharti mengangguk. “Bulik punya saudara. Om Rusdi namanya. Nggak tau apa sudah ada peningkatan dia. Kalo karirnya bagus, mungkin sudah jadi produser dia sekarang.”
“Yah ... mudah-mudahan saja, Bulik!” ujar Kesi. Sementara itu, Wiwid malah mencermati jam tangan. “Maaf ... Bulik ... wah sudah jam berapa ini?  Sekali lagi maaf.”
“Kok buru-buru to, Mbak?” ujar Suharti dengan ekspresi kecewa.
“Wah ... kami berdua udah dari tadi, Bulik! Kami itu cuma mau ngajak Mbak Nuning nonton konser. Sepertinya Nuning menolak. Katanya dia punya tanggungan menjagai Paklik Broto. Padahal kita-kita ini ingin sekali loh  ditemani Nuning,” Kesi bicara hati-hati.
“Iya! Bapaknya itu memang sakit-sakitan.”
“Maksud kami . . . apa nggak bisa sesekali Nuning dibebaskan ngurusi Paklik Broto?” Wiwid bicara. ”Misalnya Bulik sementara yang jagai Paklik.  Maksud Wiwid ... supaya dia bisa kami ajak nonton konser.”
“Wah . . . bagaimana, ya?” Suharti seperti berpikir.
”Tolonglah, Bulik. Sekaliii ... aja.”
”Masalahnya yang sakit itu kan bukan orangtuanya Bulik. Yang sakit itu bapaknya Nuning.”
Wiwid menautkan alis.
”Wajar to kalau dia ngurusi bapaknya! Namanya anak harus berbakti kepada orangtua!” ungkap Suharti tenang.
“Iya, ya, Bulik!” Wiwid mengangguk. Dia kembali melihat jamnya. Agaknya dia menyadari, percuma memberi pengertian kepada Suharti. “Eh ... sudah sore. Mungkin  kami mau pamit aja, Bulik. Mbak Nuning?” lanjutnya sembari melihat-lihat ke arah kamar.
“Paling menidurkan Tutik. Kalaupun nggak itu  ... tentu dia nggak berani muncul ke mari. Soalnya dia selalu nggak bisa bicara kalau ada Bulik,” ujar Suharti yakin.
*  *  *


JANGAN MENANGIS, NUNING

Sang fajar mulai beringsut dari peraduan yang memagut. Kaki semunya perlahan menjejak. Mengisi hari dalam perjalanan ...